2.03.2013

Kaidah Bahasa Buloggate dan Bruneigate yang Keliru


Any Rufaedah

Malam ini, Minggu pukul 22.00, saya hanya ingin menghabiskan waktu untuk baca-baca buku ringan. Urusan pekerjaan biarlah besok saja. Singkat kata, saya memutuskan membaca sebuah buku berjudul Dari Katabelece Sampai Kakus: Kumpulan Kolom Bahasa Kompas. Buku ini terbitan tahun 2003 dan saya beli pada 2 Desember 2006 di Pameran Buku Gramedia, Malang. Dari buku ini saya berharap mendapat inspirasi untuk menambah bahan naskah yang sedang saya tulis. Saya teringat pada Catatan Pinggir Goenawan Mohamad. Menurut saya menjadi berbobot karena banyak hal besar di dalamnya, yang didapat dari hasil membaca, objek yang dilihat, atau pengalaman yang dirasakan langsung. Dari sisi ide, Catatan Pinggir sebetulnya bukanlah ide yang utuh, yang mengupas sebuah masalah dan menghadirkan solusi. Namun, ia digandrungi oleh banyak pembaca. Mungkin karena penulisnya, mungkin karena kampanyenya, atau mungkin karena hal-hal besar yang terdapat di dalamnya.

Di dalam Dari Katabelece Sampai Kakus: Kumpulan Kolom Bahasa Kompas, terdapat sebuah ulasan tentang Buloggate dan Bruneigate, tentu saja ulasan dari sisi kebahasaan karena buku ini adalah kumpulan kolom bahasa. Penulisnya adalah Sunaryono Basuki KS, guru besar Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Negeri Singaraja, penulis novel, puisi, dan penerjemah. Tema itu menarik bagi saya. Mengapa? Karena terkoneksi dengan Gus Dur. Sekiranya bisa dipahami, sebagai anak muda NU, apa yang terkoneksi dengan Gus Dur selalu menarik. Dan ada sedikit keinginan untuk ‘mempermalukan’ orang-orang yang menuding Gus Dur terlibat dalam Buloggate dan Bruneigate dari sisi bahasa. Jika dari sisi bahasa penggunaan kata itu sudah salah, maka bertambah malu lah orang-orang yang menuding.

Menurut kaidah bahasa Indonesia, Buloggate dan Bruneigate tidak memiliki dasar kebahasaan. Asal pembentukan katanya tidak ada. Jika diterjemahkan secara harafiah, Buloggate berarti “pintu Bulog”. Kata itu tidak menunjukkan adanya makna skandal atau kasus. Lalu dari mana asalnya sehingga Buloggate dan Bruneigate oleh masyarakat luas diartikan sebagai skandal Bulog dan skandal Brunei? Sunaryono berasumsi kedua kata dikaitkan dengan ‘Skandal Watergate’ yang pernah terjadi di Amerika Serikat antara tahun 1972-1974 yang menyebabkan impeachment terhadap Presiden Richard Nixon.

Skandal Watergate merupakan peristiwa besar dalam sejarah pemerintahan Amerika Serikat. Kasusnya dimulai dari pembobolan Kantor Partai Demokrat di kompleks Watergate, Washington D.C oleh sejumlah orang, di antaranya untuk memasang alat penyadap. Peristiwa itu berlangsung saat kampanye pemilihan presiden. Pada mulanya tidak ada pengaruhnya terhadap Nixon. Ia berhasil terpilih sebagai presiden untuk kedua kalinya. Namun atas kecurigaan hakim yang menangani pembobol Watergate, John Sirica, dan khalayak mengenai keterlibatan Nixon dan sejumlah pejabat Gedung Putih, kasus itu diselidiki lebih lanjut. Nixon mendapat tekanan dari pengadilan dan publik untuk menyerahkan rekaman pembicaraannya terkait skandal Watergate. Hasilnya membuktikan bahwa Nixon dan sejumlah pejabat Gedung Putih terlibat dalam skandal Watergate. Nixon juga terbukti melakukan upaya tutup mulut secara besar-besaran. Atas keterlibatannya, Nixon di-impeachment pada 27 Juli 1974 dan akhirnya mengundurkan diri pada 8 Agustus 1974. Karena begitu lekatnya peristiwa Watergate dengan skandal, kemudian hanya disebut ‘watergate’, tanpa kata skandal. Kata itu masuk dalam kamus The American Heritage Dictionary edisi tahun 1985 yang berarti skandal yang melibatkan pejabat dan melanggar kepercayaan publik.

Dilihat dari perpaduan katanya, “Watergate” terdiri dari kata water dan gate. Namun penyebutannya tidak bisa dipisahkan karena merujuk pada sebuah tempat. Apabila kedua kata itu hanya disebut salah satunya, maka tidak dapat dipahami sebagai nama sebuah tempat. Misalnya kita menyebut ‘water’ saja, artinya bukan lagi merujuk sebuah tempat. Di Jakarta misalnya kita temukan nama “Pasar Minggu”. Nama itu terdiri dari dua kata, namun tidak bisa hanya disebut salah satunya untuk menunjuk daerah Pasar Minggu. Dari sini terlihat bahwa penggunaan kata Buloggate dan Bruneigate tidak menemukan logika tata bahasa. Tidak ada tempat atau objek yang bernama Buloggate dan Bruneigate di Indonesia. Apabila kata gate diambil dari kata Watergate untuk menggambarkan dahsyatnya skandal, dari segi kaidah bahasa tidak benar. Yang lebih tepat adalah istilah Bulog Watergate atau Bulgate sebagai singkatannya. Namun, istilah Buloggate dan Bruneigate sudah terlanjur dipahami sebagai skandal Bulog dan skandal Brunei. Masyarakat tidak sempat mencari kaidah pembentukan istilah. Itulah luar biasanya media massa.

Salemba Tengah,
4 Pebruari 2013. 2.27.