5.28.2008

Observing Reformation Progress Report

Written by Any Rufaidah

Without memorize, the age of reformation is 10 years. 10 years are enough time to realize the national expectation expected. The expectation of reformation is realization of democracy. Democracy is dead point that should be created in this nation called zamrud khatulistiwa. Reformation rise from serious condition of New Orde era, in where individual and collective rights are pressed by many ways.


The rise of reformation is the fact of society fatigue on repression, domination, and marginalization. Catching activists, firing mass media, and disciplining social organizations are the example of repression which should be ended. Finally, on May 21st 1998 reformation is boom in where Soeharto must strip off his position.

Reformation has embraced many alterations on society live. Reformation is like fresh wind although the realization must drop victim. Yet, that is value which must be paid for a change. Like the change in Germany, Italia, Uganda, Cuba, and others tyrant nation which also want victim.

Now, let’s analyze how the development of democracy which become reformation expectation. Is it stagnant, shift, or has moved?

The development of democracy can be observed from some aspects. First, it is multiparty. Why political party is positioned first number to observe democracy? The answer is because of multiparty all of society aspiration can be covered well. Indonesia first election after reformation, 2004, the number of party joined is 24. It is big alteration from before that is only 3 parties. Most urgent, multiparty is the good system to avoid domination like New Orde Era.
Second sign is direct election. Direct election is smart achievement for reformation because the aspiration sphere of society more open. Society right not only is covered collectively but also individually.

Third, it is press freedom. On democracy, press has significant role. Press is society aspiration tool. By means of press, society aspiration will be heard, and the most urgent government deceit can be corrected. Press has function as shock therapist for politician and government. It has heavy threat − reader.

Fourth, it is the development of Non-Government Organizations (NGOs). In reformation area, we feel NGOs’ spirit. They implement roles back. Aspirate society aspiration is the movement they done mostly. For example is the action with labor, farmer, fisherman, women, and others society requiring. It is urgent sign for democracy development.

Fifth, it is the risen of democratization programs. Recently, there are two national programs especially concerning on democratization − democracy school provided by Eep Syaifulloh and Ignas Kleden. One of programs is intensify correlation of democracy actors − government (and party), civil society (include NGO), businessman, and press. The programs give good effect for democracy development. Inclusive communication and good relationship will be real there.



5.24.2008

Hati-Hati Politik Hiburan

Oleh Any Rufaidah

Akhir-akhir ini dunia kepemimpinan Indonesia diwarnai dua aktor baru. Mereka adalah Rano Karno dan Dede Yusuf. Rano Karno mewarnai kepemimpinan di Tangerang, dan lebih luas, Dede Yusuf yang bernama asli Yusuf Macan Efendi berhasil menaklukkan hati penduduk Jawa Barat. Jalan politik keduanya cukup mulus meskipun ada juga kalangan yang meragukan. Mengatakan mereka berdua hanya modal tampang dan mengandalkan popularitas. Keraguan ini muncul karena karier politik kedua artis senior itu masih relatif singkat. Belum cukup matang untuk memimpin.


Pertanyaannya, mengapa mereka bisa meraih posisi penting yang diperebutkan banyak politisi itu? Padahal pergulatan politik yang dilalui belum seberapa. Dibanding tokoh-tokoh lain, proses yang ditempuh belum ada apa-apanya. Selain itu, dunia yang selama ini ditekuni jauh dari politik.

Ada satu jawaban yang bisa dilontarkan untuk pertanyaan di atas. Yaitu, karena masyarakat membutuhkan pemimpin muda yang bersih dan dekat dengan mereka. Ada kebutuhan, ada permintaan. Hukum itu kini berlaku dalam politik Indonesia. Kebutuhan berangkat dari realitas kepemimpinan yang selama ini carut marut. Banyak bukti yang secara jelas menunjukkan kondisi tersebut. Angka kemiskinan yang tak kunjung berkurang, peningkatan pengangguran, pendidikan yang bobrok, harga Sembako yang terus melambung, sementara korupsi semakin merajalela. Sungguh menyedihkan.

Keterpurukan itu tentu tidak bisa dilepaskan dari pemimpin. Masyarakat menilai, berbagai masalah yang muncul terutama disebabkan oleh pemimpinnya. Pemimpin tidak tegas, justru seringkali ikut serta dalam membantu upaya-upaya penyalahgunaan hak masyarakat demi misi penumpukan harta. Kedekatan pemimpin pun selama ini masih minim. Mereka turun kalau sedang membutuhkan suara. Setelah itu hilang tanpa jejak. Waktu banyak dihabiskan untuk interaksi dengan pengusaha dan oknum-oknum yang memiliki kepentingan tertentu di daerah yang dipimpin. Deal-deal pembangunan mall dan proyek-proyek besar lainnya menjadi rutinitas pengganti kunjungan ke masyarakat. Akhirnya, masyarakat terlupakan, tidak ter-openi, bahkan tidak lagi menjadi prioritas.

Masyarakat kini sudah lelah menghadapi realitas seperti itu. Mereka sekaligus bosan menunggu janji-janji pemimpin yang tak jelas kapan akan terwujud. Ini yang membuat mereka semakin membutuhkan pemimpin baru. Pemimpin muda yang bersih, tidak terlibat dalam kejahatan-kejahatan politik-pemerintahan serta popular. Yang terakhir ini (popular), bagi masyarakat tidak hanya berarti terkenal, melainkan dekat.

Kehadiran yang Tepat
Di tengah kelelahan dan kebosanan terhadap aktor-aktor lama, Rano Karno dan Dede Yusuf hadir sebagai Calon Wakil Bupati (Cawabup) Tangerang dan Calon Wakil Gubernur (Cawagub) Jawa Barat. Kehadiran mereka sangat tepat, sesuai dengan permintaan masyarakat, khususnya masyarakat lokal. Masyarakat menyambut gembira. Terbukti, keduanya kemudian berhasil menempati posisi penting di daerahnya tersebut. Mengalahkan pesaing-pesaing yang sudah tidak diragukan lagi kapasitas politiknya, seperti Agum Gumelar. Rano yang berpasangan dengan Ismet ditetapkan menang di seluruh kecamatan. Suara yang mereka kantongi lebih dari separo jumlah pemilih, yaitu 56,5 persen.

Kesuksesan ini disebabkan oleh faktor yang linear dengan permintaan masyarakat. Muda, bersih, dan popular. Rano Karno dan Dede Yusuf masih muda, memiliki idealisme dan karakter yang pas. Citra mereka di mata masyarakat selama ini baik. Di dunia keartisan jauh dari gosip-gosip miring serta tidak suka neko-neko. Yang lebih penting, keduanya bersih. Ini menjadi akurat mengingat pergulatan mereka di dunia politik masih baru. Karena baru, maka tidak tercemar oleh kejahatan-kejahatan politik-pemerintahan. Di samping itu, mereka dekat di hati pemilihnya.
Politik Hiburan
Keberhasilan Rano Karno dan Dede Yusuf sebagai pemimpin bagaimana pun harus diakui sebagai prestasi. Tidak mudah mencapai jabatan tersebut. Perlu tenaga, pemikiran, dan biaya. Bentuk usaha keduanya minimal dapat dilihat dari keabsenan di dunia keartisan selama beberapa tahun terakhir. Dalam jangka waktu itu, baik Rano maupun Dede rela melepaskan diri dari dunia yang membesarkannya demi belajar politik. Dengan upaya tersebut, wajar jika Rano dan Dede berhasil meraih tempat no. 2 di Tangerang dan Jawa Barat. Namun, ada beberapa hal yang perlu dijadikan koreksi dari fenomena politik ini.

Politik adalah dunia yang penuh strategi. Jika tanpa strategi, bukan politik namanya. Dan politikus adalah orang yang selalu bermain strategi. Strategi politik bisa dimunculkan dari berbagai macam latar belakang. Kebutuhan pasar (pemilih) adalah salah satu faktor yang sangat menentukan strategi politik yang hendak dimainkan. Aktor lama tentu tidak buta akan kebutuhan pasar. Mereka membaca kebutuhan, kemudian menawarkan apa yang diminta pasar. Motif penarikan Rano Karno dan Dede Yusuf ke wilayah-wilayah penting bisa jadi hanya untuk memenuhi permintaan pasar. Muda, bersih, dan dekat di hati pemilih. Ketiga unsur itu adalah modal besar untuk menarik hati pemilih. Dan semuanya telah terbukti. Masyarakat Tangerang dan Jawa Barat langsung terhipnotis karena kekuatan si Doel dan si Macan. Namun dalam dunia politik keduanya bisa jadi hanya dijadikan hiburan politik, dan kemudian politik Indonesia menjadi politik hiburan. Ada kesimpulan bahwa permintaan pemilih yang dilatarbelakangi oleh kelelahan dan kebosanan atas realitas pemimpin harus diatasi dengan hiburan. Maka ditariklah orang-orang baru agar masyarakat terhibur. Dengan begitu pasar menjadi puas, sementara kekuasaan utama tetap dipegang aktor-aktor lama. Jika sudah demikian, berarti motif politik penarikan Rano Karno dan Dede Yusuf tidak lebih sebagai hiburan politik.

Kita tentu tidak ingin pemimpin hanya berfungsi sebagai hiburan politik dan politik Indonesia menjadi politik hiburan. Oleh sebab itu, masyarakat harus pandai dalam pembaca realitas politik yang sedang berkembang. Dan para artis yang saat ini banyak dilirik untuk mengikuti keberhasilan senior mereka sebaiknya juga pandai membaca fenomena. Tidak sekedar ikut tanpa menyadari fungsi dan keberadaan mereka seharusnya. Kekritisan harus selalu diasah sebelum diri sendiri dan masyarakat luas terjebak dalam politik hiburan. Semoga ini tidak terjadi.

Penulis adalah anggota Averroes Community, Malang.

Aku Hanya Kotoran Binatang

Any Rufaidah

Aku ini hanya kotoran binatang
Yang mengaharap mata tak jijik saat melihatku
Aku ini hanya kotoran binatang
Yang berharap hidung-hidung tak tertutup saat dekat denganku
Aku ini hanya kotoran binatang
Yang berharap tak ada kaki yang menginjakku
Aku ini adalah kotoran binatang
Yang menunggu orang mengangkatku
Tumbuh bersama bunga, menciptakan keindahan, menghadirkan keharuman
Tapi aku hanya kotoran binatang
Berharap pun adalah khayalan
Aku hanya kotoran binatang


5.03.2008

Anak Perlu Dispensasi

ANY RUFAIDAH, S. Psi


Tuntutan zaman memaksa bangsa ini menjadi bangsa yang tangguh dan mampu bersaing di kancah internasional. Persaingan dunia yang semakin lama semakin ketat menuntut persiapan diri sebaik mungkin. Jika tidak mampu bersaing, bersiap-siaplah terlindas zaman. Tuntutan itu menjadikan kebutuhan akan pendidikan berkualitas semakin besar. Untuk itulah, pendidikan menciptakan formulasi-formulasi kreatif. Kita amati, dari tahun ke tahun Depdiknas mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru dengan tujuan utama untuk meningkatkan SDM. Nilai minimum kelulusan SMA yang semula hanya 3,01 dinaikkan menjadi 4,01 pada tahun ajaran 2003/2004. Pada tahun ajaran berikutnya (2004/2005), nilai dinaikkan lagi menjadi 4,25. Asumsinya, jika siswa mampu lulus belajar dengan standart nilai tinggi, kemampuan akademiknya dapat diakui. Bukan hanya Depdiknas yang mengeluarkan formulasi-formulai dalam bentuk kebijakan baru. Sekolah-sekolah nampaknya bekerja keras pula dalam mewujudkan cita-cita bangsa. Salah satu dari sekian banyak program yang ditawarkan adalah fullday school.


Program fullday school menerapkan sistem belajar sehari penuh, dimana siswa belajar sepanjang hari di sekolah, mulai pukul 07.00 hingga 16.00 atau lebih. Sekolah-sekolah yang menerapkan sistem ini menawarkan berbagai fasilitas belajar dan les-les tambahan. Komputer lengkap dengan jaringan internet, laboratorium IPA, laboratorium bahasa, dan fasilitas lainnya sudah tersedia. Guru-guru selalu siap memberikan pelajaran tambahan hingga sore hari. Bimbingan agama pun tersedia. Layaknya supermarket, sekolah menyediakan segala sesuatu yang berhubungan dengan peningkatan mutu SDM. Dan yang paling penting, fullday school sangat berguna untuk menghindari pergaulan-pergaulan negatif, meminimalisir pengaruh luar sekolah seperti penggunaan narkotika dan miras, balapan liar, tawuran antar pelajar, gank liar seperti halnya gank motor, dan bentuk-bentuk pergaulan negatif lainnya. Dengan memperpanjang waktu di sekolah, anak-anak diharapkan menjadi generasi cerdas dan “bersih”. Pada sisi ini, fullday school sangat bermanfaat. Di era globalisasi yang serba bebas ini, anak-anak (remaja) memang mudah terpengaruh berbagai macam hal. Kehadiran dunia maya yang biasa disebut cyberspace dan kecanggihan teknologi memungkinkan remaja mengakses berbagai informasi dengan mudah. Dengan segala kemudahan itu, gaya hidup di berbagai belahan dunia dapat terserap dengan mudah. Seakan-akan tidak ada batas yang memisahkan antara bagian dunia satu dengan bagian lainnya. Peneliti budaya ITB, Yasraf A. Piliang (2004) menyebut realitas ini sebagai dunia tanpa batas (bouderless world). Gaya remaja Barat dengan rok mini, blue jeans sobek-sobek, body piercing, cat rambut warna-warni, dapat masuk dan diimitasi dalam waktu sekejap mata.

Pengaruh-pengaruh negatif pergaulan yang berkembang di era globalisasi ini memang seharusnya diperhatikan. Jika tidak, bangsa ini akan terancam kehilangan identitas dan jati diri bangsa. Tidak memiliki ciri khas yang bisa dibanggakan dan mudah dipermainkan oleh kekuatan asing. Fullday school sebagai salah satu tameng atas kemungkinan itu perlu mendapat apresiasi. Tetapi perlu diingat, kita tetap tidak boleh meremehkan keterbatasan anak (peserta didik) yang mengikuti program tersebut.

Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan seorang siswa SMP yang mengikuti sekolah fullday. Ketika saya bertanya sekolah di mana? Ia menjawab, kemudian mengatakan ingin segera pindah dari sekolahnya sekarang. Sebab, di sekolahnya terlalu banyak tugas dan tidak ada waktu untuk bersantai dan bermain-main. Dengan nada ketus ia mengatakan, “Masak anak SMP tidak diberi waktu main.”

Siswa itu merasa tertekan dan tidak sanggup mengikuti program fullday. Gambaran ini hanya satu dari sekian banyak contoh yang riil terjadi. Bayangkan saja, berapa jumlah siswa yang mengalami hal serupa. Sebenarnya mereka ingin pindah sekolah, tetapi ada faktor yang menghalangi, salah satunya adalah orang tua. Terkadang orang tua tidak mengijinkan anaknya pindah sekolah, karena fullday school dianggap the best program. Orang tua berharap dengan mengikuti program ini anak akan berprestasi. Mereka lupa bahwa model pendidikan yang tak dikehendaki anak justru akan menjadi boomerang. Anak merasa tertekan karena tidak kuat menanggung beban sekolah. Di sinilah pengertian orang tua sangat dibutuhkan.

Kebijaksanaan orang tua sangat diperlukan dalam menghadapi contoh seperti di atas. Jaga Image (Jaim) karena anaknya tidak mampu mengikuti fullday school yang dalam masyarakat dianggap bagus tidak perlu dipertahankan. Pemahaman orang tua terhadap kondisi anak lah yang harus ditampilkan. Orang tua harus menyadari bahwa kemampuan setiap anak dalam menyerap pelajaran berbeda. Jangan karena ketidaksadaran orang tua, anak menjadi korban. Mereka tidak mampu menyerap pelajaran dengan maksimal. Ke sekolah hanya untuk menyenangkan orang tua, bukan atas kemauan sendiri. Belajar pun sekadarnya saja. Perlu dipahami bahwa kebutuhan anak muncul sesuai dengan bakat dan minatnya. Bakat dan minat tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Tidak seharusnya dipaksakan. Selain itu, anak memiliki hak memilih orientasi belajarnya sendiri. Orang tua yang lebih dulu mengenal demokrasi harus mampu mempraktikkannya di sini. Demokrasi bukan hanya berlaku antara pemerintah dan rakyat. Di lingkungan keluarga pun memerlukan demokrasi. Bahkan, penerapan demokrasi di lingkungan keluarga lah yang justru lebih bermanfaat. Agama pun secara jelas memberi amanat kepada orang tua untuk mendidik anak sebaik mungkin. Tetapi agama tidak menghendaki pemaksaan. Kita diperintah untuk memberi kebebasan.

Dan sudah selayaknya diketahui bahwa yang disebut kesuksesan bukan hanya disokong oleh kemampuan akademik (Intelectual Quotient) yang ditawarkan fullday school. Orang sukses adalah orang yang mampu mengembangkan minat dan bakatnya secara maksimal. Bukan hanya mereka yang mampu menghafal rumus matematika atau fisika. Mereka yang pandai bermain biola atau gitar, menjadi atlet renang atau bulutangkis adalah orang-orang yang sukses pula. Dengan kata lain, “Banyak jalan menuju sukses”. Anak memiliki pilihan sendiri-sendiri untuk menemukan jalan suksesnya.

Kita semua berharap bahwa formulasi cerdas berupa fullday school mampu menghantarkan bangsa ini menjadi bangsa maju dan kokoh. Tetapi perlu menjadi catatan bahwa pendidikan yang kita tanamkan adalah pendidikan berbasis kebebasan seperti yang diajarkan oleh ahli pendidikan Brazil, Paulo Freire, bukan pendidikan berbasis sangkar. Semoga.

ANY RUFAIDAH, S. Psi, HRD Lembaga Pendidikan“El Maurice Muamalah College”Malang
(Koran Pendidikan, November 27)