6.01.2008

Complexity Theory on Social Science

Any Rufaidah

Teori Kompleksitas: Ideologi dan politik sistem self-organizing
Masyarakat dipandang sebagai sebuah sistem kompleks yang autopoiesis, sebuah sistem ekologis yang memproduksi-sendiri (self-producing) secara terus-menerus, adalah cara pandang yang ditawarkan oleh Maturana dan Valera, dalam bukunya Autopoiesis and Cognition (1980). Inilah yang mendasari pemikiran akan sosiologi kompleksitas yang dicoba susun oleh Kevin Kelly, dalam bukunya Out of Control (1995), menunjukkan bahwa saat ini telah terjadi pergeseran paradigma dalam beberapa disiplin ilmu yang memandang segala sesuatu sebagai sistem kompleks dan sistem yang mengorganisasi-sendiri (self-organizing); sebuah konsep yang dipinjam dari ilmu alam (fisika dan biologi) dengan adaptasi tertentu dalam penerapannya dalam ilmu sosial.

Analisis yang digunakan adalah analisis trans-disiplin yang mengkaji sistem sosial sebagai sistem kompleks sehingga dapat diperhatikan berbagai parameter-parameter teknisnya untuk kemudian dengan bantuan matematika dan komputer dapat dianalisis secara komputasional dalam bentuk masyarakat buatan (artificial society). Dalam hal ini masyarakat dipandang sebagai sistem adaptif kompleks di mana tiap-tiap agen penyusunnya harus melakukan adapatasi sedemikian rupa untuk dapat tetap bertahan hidup dalam ranah evolusi sosial yang berlangsung terus-menerus.
Pada tataran ini, kita tidak lagi berbicara soal kapitalisme dan berbagai pola kultural yang semenjak Mazhab Frankfurt terus-menerus ditinjau secara kritis. Di sini ditawarkan bagaimana memandang kapitalisme secara lunak, dan tidak lagi berbicara mengenai seluk-beluk kapitalisme dan berbagai kritik yang ditujukan kepadanya. Kapitalisme dan demokrasi dianggap sebagai sistem yang sudah final dan sekarang yang penting adalah bagaimana kita adaptif terhadap sistem tersebut. Dalam pemikiran ini, segala dinamika yang terjadi di dalam masyarakat terjadi tanpa kendali siapapun dengan proses yang mengorganisasi sendiri (self-organized), sebuah hal yang mengingatkan kita pada invisible-hand-nya Adam Smith, bapak kapitalisme dunia.
Pandangan ini tentu saja naif: menantikan sebuah teori sistem sosial yang menikahkan antara sains alam dengan sains sosial namun dengan menggunakan adaptasi total metodologi yang digunakan dalam sains alam ke dalam sains sosial dengan melupakan evolusi epistemologis dari ilmu-ilmu sosial. Sebagaimana diutarakan oleh Douglas Kellner dan Steve Best dalam ulasannya terhadap karya Kevin Kelly yang,
…justru gagal dalam teoretisasi relasi kompleks antara restrukturisasi global kapitalisme dan bangkitnya teknologi baru… secara ironis, pakar teori kompleksitas seringkali terlalu jauh berada di satu sisi dan terlalu menyederhanakan permasalahan…

Inilah paradoks yang terjadi pada para teoretisi kompleksitas, sebuah reduksionisme dan simplifikasi yang terlalu jauh padahal asumsi awal dalam melakukan penelitiannya adalah bahwa sistem yang sedang ditelaah adalah sistem dengan kompleksitas tinggi.
Sumber : http://www.geocities.com/kajianbudaya/artikel1.htm

Menerjemahkan Teori Kompleksitas dalam Proses Pengambilan Kebijakan Publik
Ilmu-ilmu kompleksitas berkembang seiring pesatnya teknologi komputasi yang memungkinkan pemodelan sistem-sistem yang rumit dalam realm seorang analis dan pengamat. Teknologi komputasi yang mendorong simulasi komputasional telah memberikan tools yang penting bagi pengayaan ilmu sosial yang memungkinkan eksperimen dilakukan secara komputasional (Sawyer, 2003) sehingga banyak kebijakan tidak lagi dilahirkan secara coba-coba atau trial and error. Berbagai ide akan solusi untuk kebijakan publik dapat disimulasikan dahulu secara komputasional sebelum menjadi kebijakan publik sehingga kebijakan yang diambil pada akhirnya merupakan kebijakan paling optimum bagi kemashlahatan.
Ilmu-ilmu kompleksitas bersandar pada prinsip-prinsip dasar dari sains yang salah satunya adalah refutabilitas, atau ia dapat dipersalahkan jika memang salah dalam terminologi peningkatan manfaat bagi publik. Melalui berbagai tools yang diakuisisi oleh ilmu-ilmu kompleksitas, hal ini dapat dilakukan dan ilmu sosial yang selama ini berkembang menjadi semakin kaya dan kokoh fondasi keilmiahannya.
Sumber : http://qact.wordpress.com/2008/05/19/menumbuhkan-sains-dari-oleh-dan-untuk-kebangkitan-nasional-kita/

Summary :
1.Teori kompleksitas merupakan perubahan paradigma dari self-producing ke self-organizing
2. Menurut teori kompleksitas (paradigma baru), jika masyarakat dibiarkan berjalan sendiri, mereka akan kelabakan jika suatu saat menghadapi peristiwa tak terduga (misalnya : bencana).
3. Teori kompleksitas dibangun agar manusia mampu mengenali signal-signal kompleksitas sosial sebagai acuan untuk beradaptasi di dalamnya.
4. Untuk kerja birokrasi, teori ini dianggap sesuai karena ia mensyaratkan kesiagaan, ketepatan, dan kecepatan dari kerja birokrasi.

Kritik terhadap kompleksitas teori :
1. Teori kompleksitas pada beberapa disiplin ilmu sosial justru seringkali simplistik. Solusi-solusi yang ditawarkan malah menciptakan manusia robot (ini khusunya pada psikologi)
2. Teori kompleksitas cenderung hanya merupakan peralihan fungsi dan kerja mesin ke dalam sistem sosial manusia.

Catatan : kritik-kritik akan muncul hanya jika teori kompleksitas diterapkan pada ilmu sosial kemanusiaan, seperti psikologi yang banyak bersinggungan dengan filsafat, posmodernisme, atau posstrukturalisme.
Tetapi untuk ilmu pemerintahan, kebijakan publik (pelayanan publik), teori ini justru sangat dianjurkan, dan ia berfungsi untuk kritik terhadap pemerintah dan kinerja birokrasi.

Bacaan Penunjang
Gleick, J. (1987). Chaos: Making A New Science. Viking.
Keen, S. (2002). Debunking Economics: The Naked Emperor of the Social Sciences. Pluto Press.Kuhn, T. (1962). The Stucture of Scientific Revolutions. Chicago UP.
Santa Fe Institute (SFI).2008. The Santa Fe Institute Summer Insternship Mentoship Program. URL: http://www.santafe.edu/education/
Sawyer, R. K. (2003). “Artificial Societies: Multiagent Systems and Micro-Macro Link in Sociological Theory”. Sociological Methods & Research 31 (3). Sage.
Situngkir, H. (2004). “On Massive Conflict: A Macro-micro link”. Journal of Social Complexity 1 (4).
Situngkir, H. (2004). “How Far can We Go Through Social System?”. Journal of Social Complexity 2 (1).
Situngkir, H. (2006). “The Dynamics of Corruption: Artificial Society Approach”. Advances in Intelligent Systems Research: JCIS-2006 Proceedings. Atlantis Press.
Surya, Y. & Situngkir, H. ( 2008 ). Solusi untuk Indonesia: Prediksi Ekonofisik/Kompleksitas. Kandel.
Waldrop, M. M. (1992). Complexity: the Emerging Science at the Edge of Order and Chaos. Simon & Shuster.







Pelayanan Kesehatan Indonesia

Any Rufaidah

Men Sana In Corpore Sano. Peribahasa tersebut benar adanya, karena kemampuan berkreativitas dan berinovasi banyak tergantung pada kesehatan ragawi. Dalam konteks kenegaraan, logika ini diakui kebenarannya. Oleh sebab itu, di dalam kampanye-kampanye kesehatan disebutkan kata-kata bijak seperti “Bangsa yang Cerdas adalah Bangsa yang Sehat”.

Kondisi sehat diperlukan oleh semua bangsa, tidak terkecuali Indonesia. Indonesia mengharapkan bangsa yang sehat agar kekayaan yang ada dapat dikelola dengan baik, dimanfaatkan sebaik mungkin, dan dinikmati oleh anak cucu bangsa. Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah, ”Sudahkah Indonesia menjadi bangsa yang sehat?”
Jawaban atas pertanyaan ini bisa ditilik dari kondisi riil yang ada di lapangan. Yang pertama bisa dilihat dari kesehatan balita dan anak-anak. National Socio-Economic Survey (Susenas) mencatat, pada tahun 1989 lebih dari empat juta anak-anak di bawah usia dua tahun menderita gizi buruk. Di tahun 1998, lembaga yang sama mencatat sekitar 7,6 juta anak balita mengalami kekurangan gizi akibat kekurangan kalori protein. Angka yang lebih memprihatinkan ditunjukkan oleh United Nations Children’s Fund (UNICEF). Mereka mencatat sekitar 40% balita Indonesia menderita gizi buruk (Sinar Harapan on-line, 25/1/02).
Keadaan ini ternyata tidak kunjung teratasi. Tahun 2005, tercatat sedikitnya 22.027 atau sekitar 12,6% balita di Kabupaten Cianjur menderita kurang gizi, sekitar 2.411 atau 1,4% di antaranya sudah digolongkan menderita gizi buruk (tempointeraktif, 14/6/05). Tahun 2006, di Solo ditemukan 1.640 balita dikategorikan kekurangan gizi, dan 290 di antaranya digolongkan menderita gizi buruk (tempointeraktif, 29/8/06).
Status gizi berkonsekuensi langsung pada kecerdasan. Lebih-lebih, kondisi ini terjadi pada usia pembentukan otak. Menurut ahli gizi, 80% proses pembentukan otak berlangsung pada usia 0-2 tahun (Sinar Harapan on-line, 25/1/02). Hal ini telah dibuktikan oleh penelitian Dirjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Depkes. Pada tahun 2001, sekitar 130-140 juta rakyat Indonesia mengalami penurunan kecerdasan akibat kekurangan zat yodium. Angka ini menyebabkan Indonesia menempati peringkat ke 174 dari 190 negara (gizi.net, 27/11/01).
Kedua, bisa dilihat dari angka kematian ibu dan anak. Angka kematian ibu melahirkan di Indonesia pada faktanya masih sangat memprihatinkan, yaitu tertinggi di Asean. Data terakhir dari BPS adalah sebesar 262 per 100 ribu kelahiran hidup pada tahun 2005. Sedangkan Laporan Pembangunan Manusia tahun 2000 me¬nye¬butkan angka kematian ibu di Ma¬lay¬sia jauh di bawah Indonesia, yaitu 41 per 100 ribu kelahiran hidup, Singapura 6 per 100 ribu kelahiran hidup, Thai¬land 44 per 100 ribu kelahiran hidup, dan Filiphina 170 per 100 ribu kelahiran hidup. Pada¬hal, tahun 2000 itu angka kematian ibu ma¬¬sih berkisar di angka 307 per 100 ribu kelahiran hidup. Bahkan Indonesia kalah dibandingkan Vietnam, Negara yang be¬lum lama merdeka, yang memiliki angka ke¬matian ibu 160 per 100 ribu kelahiran hidup.
Ketiga, dari kondisi kesehatan secara umum. Hal ini bisa dilihat dari jumlah penyakit-penyakit yang umumnya menyerang masyarakat, misalnya diare, demam berdarah, flu burung, serangan jantung, hipertensi, kanker hingga HIV/AIDS. Jumlah penderita penyakit-penyakit tersebut sampai saat ini masih menjadi persoalan pelik. Perkembangannya sangat cepat dan mudah berepidemi.
Banyak faktor yang menyebabkan mengapa kondisi kesehatan bangsa Indonesia masih sangat terpuruk. Minimnya pengetahuan masyarakat, ekonomi, budaya, adalah beberapa faktor penyebab rendahnya kualitas kesehatan masyarakat. Dan satu yang paling mendasar adalah minimnya pelayanan kesehatan, terutama di desa-desa terpencil. Banyak desa-desa terpencil yang sampai saat ini belum memiliki akses kesehatan yang memadai. Data empiris setidaknya memberi gambaran bagaimana masyarakat desa dapat mengakses kesehatan yang memadai. Untuk berobat, mereka harus menempuh jarak yang tidak pendek. Akibatnya, mereka banyak yang tidak tertolong.
Demikian pula dengan perolehan protein, yodium, vaksin, dan pengetahuan kesehatan. Masyarakat terpencil tidak memiliki akses untuk mendapatkan hal-hal tersebut. Jika demikian, bagaimana masyarakat akan sehat.