1.13.2013

Akar Ideologi dan Gerakan Feminisme

Oleh Any Rufaedah

Atas permintaan pengurus PMII STAINU Jakarta untuk mengisi materi Gender pada Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA), mau tidak mau saya harus membaca kembali sejarah feminisme. Saya rasa ini kesempatan yang sangat baik untuk merefresh kembali bacaan. Saya kumpulkan buku-buku terkait feminisme yang saya miliki, baik yang baru saya beli beberapa waktu lalu, misalnya Agama, Seks, dan Kekuasaan karya Julia Suryakusuma maupun yang 3, 4 atau 5 tahun lalu, seperti Ensiklopedia Feminisme, Mitos Kecantikan, dan Feminisme untuk Pemula. Membuat materi dengan serius baik dari segi konten dan tampilan adalah satu-satunya yang terlintas. Mahasiswa baru bukan anak kecil lugu yang bisa ‘ditipu’ dengan retorika atau materi ‘tak berdasar’. Mereka punya basis pengetahuan yang diperoleh dari pesantren, sekolah, maupun kelompok diskusi. Boleh jadi saya mentah atas kritik mereka. Meskipun pada faktanya mereka masih ‘gagap’ untuk menemukan padanan istilah dan kata kunci dalam pemaknaan gender, anggap saja itu sebuah keberuntungan, bukan alasan untuk tidak serius membuat materi pada kesempatan-kesempatan yang mungkin datang selanjutnya.

Tidak ada banyak waktu untuk membaca, merangkum, dan menuangkannya pada powerpoint dengan tampilan yang cantik. Saya harus memilih beberapa buku yang paling representatif untuk menggambarkan sejarah feminisme. Agama, Seks, dan Kekuasaan sangat menarik, namun terlalu berat untuk dibaca dalam waktu singkat. Akhirnya saya pilih Feminisme untuk Pemula (Marisa Rueda, Marta Rodriguez, & Susan Alice Watkins), Ensiklopedia Feminisme (Maggie Humm), Feminisme: Sebuah Kata Hati (Gadis Arivia), dan Pergulatan Feminisme dan HAM (R. Valentina Sagala & Ellin Rozana). Buku utamanya adalah Feminisme untuk Pemula. Buku ini saya rasa ditulis dengan sistematika yang mudah untuk memahami sejarah. Meskipun tertulis ‘untuk pemula’, namun di sisi lain buku ini tertulis ‘seri gerakan sosial’. Tulisan itu menggambarkan sebuah ghiroh gerakan advance. Sementara ketiga buku lainnya saya gunakan sebagai pelengkap terkait dengan definisi istilah-istilah dan prinsip-prinsip ideologi feminisme. Atas latar belakang itu, maka boleh saja catatan ini disebut sebagai review buku Feminisme untuk Pemula mengenai akar ideologi dan gerakan feminisme.
***
Feminisme adalah salah satu gerakan yang muncul sebagai bentuk perlawanan atas kondisi Eropa yang feodal hingga abad 18. Disebut salah satu, sebab selain feminisme juga muncul perlawanan atas ketidakadilan sosial, misalnya disuarakan oleh Montesquieu, Locke, Jefferson, dan Voltaire. Pada masa feodal, para raja, bangsawan, pemilik tanah, dan pendeta berkuasa atas para tukang, pedagang, dan petani kecil. Masyarakat pada masa itu (sebelum terjadi industrialisasi) bekerja di ladang-ladang atau bengkel-bengkel kerja. Laki-laki dan perempuan bekerja bersama meski tugas dan upah yang diterima berbeda.

Sejak berkembangnya industri-industri manufaktur, muncullah pemisahan pekerjaan. Laki-laki bekerja di kota-kota besar dan perempuan tetap di rumah. Masa ini menciptakan ide “laki-laki sebagai pencari nafkah” dan “perempuan sebagai ibu rumah tangga” untuk pertama kalinya. Perempuan secara ekonomi bergantung pada laki-laki. Industrialisasi memunculkan kelas-kelas baru, yaitu buruh yang tidak memiliki tanah dan kelas menengah perkotaan. Dominasi kelas tetap berlangsung. Ketamakan-ketamakan (insecurities) terjadi, dan pada akhirnya melahirkan hasrat akan kebebasan. Di sinilah muncul suara-suara Montesquieu, Locke, Jefferson, Voltaire, dan feminisme.

Pertengahan abad 18, lahir pemikir progresif yang tercerahkan. Mereka menentang tirani para raja, bangsawan, dan pendeta yang didasarkan pada hak-hak turunan. Bersamaan dengan itu, feminisme menentang tirani laki-laki dalam rumah tangga. Salah satu nama populer pada masa itu adalah Jean-Jacques Rousseau (1712-1778). Rousseau menyerang ketidakadilan di Eropa. Namun ia sedikit bias saat menyinggung ketidakadilan terhadap perempuan. Dalam novelnya yang terkenal, Emile (1762), Rousseau menyuarakan ide pendidikan untuk perempuan yang masih sangat bias gender. Ia menulis:

Laki-laki dan perempuan diciptakan demi satu sama lain, namun kesalingtergantungan di antara mereka tidaklah sama. Kita lebih bertahan hidup tanpa mereka, ketimbang mereka tanpa kita. Mereka bergantung pada kita. Mereka bergantung pada apa yang kita rasakan, pada apa yang kita tentukan sebagai kebaikan mereka, pada nilai-nilai yang kita tetapkan sebagai daya tarik mereka dan sebagai kebaikan mereka. Karena itulah, seluruh pendidikan kaum perempuan haruslah direncanakan dalam hubungannya dengan laki-laki. Untuk menyenangkan laki-laki, untuk menjadi berguna buat laki-laki, untuk merebut cinta dan rasa hormat dari laki-laki, untuk mengasuh laki-laki seperti layaknya anak-anak, merawat mereka seperti orang dewasa, untuk memberinya nasehat dan hiburan, menjadikan kehidupan laki-laki penuh rasa dan menyenangkan.
Pada tulisan itu, ide pendidikan untuk perempuan hanya ditujukan untuk kesenangan laki-laki, bukan untuk kemerdekaan perempuan.

Di daratan sebrang, Inggris, muncul nama Mary Wollstonecraff (1759-1797). Dalam buku Feminisme untuk Pemula, nama Mary praktis disebut pertama kali pada masa bangkitnya ideologi feminisme. Mary tumbuh dalam keluarga patriarkhi. Ayahnya biasa melakukan kekerasan dan ibunya tidak melakukan perlawanan apa-apa. Mary punya keinginan kuat untuk mandiri dan berpendidikan. Ia membuka sekolah untuk gadis-gadis di Newington Green, daerah pinggiran di London Utara.

Ide ‘pemberontakan’ Mary didukung pula oleh lingkungannya. Tetangganya adalah kaum Dissenter (gereja-gereja yang dianggap sempatan), yaitu Gereja Presbyterian yang radikal, kaum Gereja Baptis, dan kaum Gereja Independen yang dilarang menduduki seluruh jabatan pemerintahan sipil serta tidak boleh masuk universitas. Mereka mendirikan Dissenting Academy. Di situlah mereka mendiskusikan ide-ide Jaman Pencerahan secara terbuka. Lingkungan ini berpengaruh pada pribadi Mary.

Mary kemudian diperkenalkan dengan Joseph Johnson, seorang penerbit di London yang mengangkat isu-isu kaum tertindas seperti budak, tunawisma, Yahudi, penyapu cerobong asap, orang-orang yang kelaparan, dan lain-lain. Tahun 1788 Mary menjadi anggota inti. Di sana ia belajar dan berdiskusi dengan penulis-penulis radikal lainnya. Selain Joseph Johnson, ada nama nama William Blake, Mary Hayes, William Goodwin, William Wordsworth, dan Tom Paine. Paine menerbitkan The Right of Man (1792-1992), buku yang membuat Paine terancam hukuman mati karena tuduhan melawan Mahkota Inggris. Dan Mary sendiri menerbitkan A Vindication of the Rights of Woman (1792). Dalam buku ini, ide-ide pencerahan untuk pertama kalinya dikaitkan dengan situasi kaum perempuan. Buku ini pun disebut sebagai batu alas feminisme modern, yang menggema selama berabad-abad.

1789, Revolusi Perancis meletus. Pada peristiwa bersejarah itu perempuan menemukan momen gerakannya. 6.000 buruh perempuan, tukang cuci pakaian, penjahit, pelayan, penjaga toko, istri-istri buruh menuju pusat kora Paris untuk menyuarakan kelangkaan makanan dan menuntut roti murah.  Kaum revolusioner sendiri terbagi menjadi kelompok Jacobin radikal yang menghendaki dihapuskannya monarki dan kelompok Girondin moderat yang menghendaki monarki konstitusional. Perempuan Jacobin menyuarakan pengendalian harga dan distribusi bahan pangan yang adil, menuntut hak politik, dan pengakuan atas jasa-jasa perempuan secara publik. Sementara perempuan Girondin menyuarakan hak atas kepemilikan harta bagi perempuan menikah maupun yang hidup sendiri. Tuntutan Girondin dilatarbelakangi oleh tidak adanya hak kepemilikan atas harta bagi perempuan. Suami menentukan pemakaian harta istri. Perhiasan istri boleh digunakan secara bebas oleh suami.

Ide feminisme menyebar ke benua Amerika. Jika misi perjuangan perempuan Eropa adalah menentang tirani rumah tangga laki-laki, misi perempuan Amerika adalah menentang perbudakan rasial. Atas fakta sejarah ini kita boleh menyebut bahwa perjuangan perempuan sangat kontekstual, tidak membabi buta ataupun mengada-ada. Pada akhir abad 18, perempuan kulit hitam Amerika menghadapi masalah sangat serius. Mereka menjadi budak dan kerap diperkosa. Nama Sarah Mapp Douglass, Harriet Purvish, Sarah dan Margaretta Forten, Lucretia Mott, muncul untuk menyuarakan anti penindasan dengan mendirikan Masyarakat Anti-Perbudakan Perempuan (1883). Kelompok penentang anti perbudakan (Abolisionis) ini menyuarakan tuntutan pada pemerintah. Langkah itu memang sebuah keharusan, sebab perbudakan adalah masalah sistemik.

Pada 1840, digelar Konvensi Internasional Anti-Perbudakan di Inggris. Konvensi ini pun bermasalah. Keterlibatan perempuan delegasi AS sempat tidak dikehendaki oleh forum yang didominasi laki-laki. Baru pada Konvensi Hak-Hak Perempuan Pertama (19 Juli 1848), keterlibatan perempuan tidak lagi dipermasalahkan. Tepatnya di gereja Wesleyan di Seneca Fall, New York, seratus laki-laki dan perempuan berkumpul untuk membicarakan hak-hak perempuan. Tuntutan yang paling menonjol adalah hak pilih yang diusulkan oleh Elizabeth Cady Stanton (1815-1902), teman dekat Lucretia. Usulan itu disahkan dengan kemenangan tipis. Elizabeth menjadi terkenal. Rumahnya sering didatangi para pendukung hak-hak perempuan. Di antaranya adalah Susan B. Anthony (1820-1906) yang kemudian menjadi sahabat Elizabeth. Elizabeth dan Susan berbagi peran dalam menyelesaikan urusan rumah tangga dan aktivitas-aktivitas gerakan. Mereka berdua berbicara pada pertemuan-pertemuan di AS untuk menyuarakan perbaikan upah guru perempuan, hak milik atas harta, pendidikan, karir, dan hak pilih. Selama lima bulan Elizabeth menggalang tanda tangan untuk menentang undang-undang pembayaran upah perempuan kepada suami. Elizabeth dan Susan menjadi inspirasi bagi gerakan penegakan hak perempuan di seluruh AS.

Gerakan Elizabeth dan Susan mendapat energi baru dengan hadirnya Lucky Stone (1818-1883). Perempuan muda itu mendapat pendidikan di Oberlin College, Ohio, satu-satunya perguruan tinggi untuk berbagai ras. Lucy mempunyai bakat sebagai orator. Ia berpidato di berbagai rapat terbuka di seluruh Massachusetts. Namun gerakan ketiga feminis itu pecah ketika Lucy dan mitranya, Antoinette Brown (1825-1921) mendukung Amandemen ke-15 yang memberikan hak pilih kepada laki-laki kulit hitam. Elizabeth dan Susan tidak mendukung amandemen itu karena tidak memberikan hak pilih kepada perempuan. Baru pada tahun 1888 mereka bertemu kembali untuk membentuk Asosiasi Nasional untuk Hak Pilih Perempuan. Anak Lucy, Alice Stone Blackwell adalah penggerak asosiasi itu.

Capaian gerakan perempuan di Inggris berbeda lagi. Di satu sisi, perempuan mendapat hak untuk bekerja di luar rumah, namun jam kerja mereka lebih panjang dan mendapat upah lebih rendah. Mereka menjadi pemintal, pelayan rumah tangga, buruh tani, pembuat topi, tukang seterika, pengajar privat, dan buruh pabrik –sebelumnya mereka bekerja bersama ayah atau suami di ladang pertanian, bengkel kerja, atau industri rumah tangga. Lahan kerja itu tidak sebanding dengan imbalan yang diperoleh. Pilihannya adalah menikah. Dengan berada di rumah, perempuan lebih terjamin secara ekonomi dan sosial. Meskipun menjadi ‘tahanan rumah’ karena tidak memiliki hak kepemilikan harta, kelas menengah Inggris menghendaki itu. Korbannya adalah perempuan kelas menengah. Perempuan kelas bawah tentu lebih memilih bekerja karena kebutuhan ekonomi. Secara sosial perempuan kelas menengah lebih baik, namun tidak mempunyai hak milik atas harta. Kebutuhan ekonomi mereka sangat tergantung pada landasan ideologis dan superioritas laki-laki. Perlu tiga generasi feminis untuk mendapatkan hak pendidikan, hak upah, dan hak pilih bagi mereka.

1856, lahir feminis generasi pertama yang dikenal Langham Place. Gerakannya diawali dengan mengorganisir komite untuk mengumpulkan petisi bagi UU Hak Milik Perempuan yang Menikah. Pelopornya adalah Barbara Leigh Smith (1827-1891) dan Bessie Rayner Parkers (1829-1925). Pada tahun 1858, mereka meluncurkan Englishwoman’s Journal yang membahas hak-hak sipil perempuan. Setahun setelahnya mendirikan Society for Promoting the Employment of Women yang kemudian mendirikan percetakan Victoria Press dan mendirikan Institute untuk Perempuan di 19 Langham Place. Generasi Langham Place ini menggalang kekuatan untuk menyuarakan hak pilih perempuan kepada parlemen. John Stuart Mill (1806-1873) adalah anggota parlemen yang memediasi gerakan itu kepada parlemen. Mill dalam buku The Subjection of Women (1869) menyampaikan argumen yang mendukung kesetaraan laki-laki dan perempuan secara fundamental.

Bersambung….(feminisme Inggris generasi kedua)