10.06.2008

Catatan dari Kampung Halaman

Setiap lebaran, seperti Muslim di perantauan pada umumnya, saya pun pulang kampung. Bertemu keluarga, kerabat, teman, mantan pacar, dan lain sebagainya adalah hal yang sangat menyenangkan. Cerita, tawa, suka, duka, perkembangan, pertumbuhan, kemunduran, dan lain sebagainya ada di sana. Semua yang tidak ditemukan selama setahun seperti langsung bisa diserap saat lebaran, dalam waktu satu atau dua hari. Itulah salah satu indahnya lebaran.

Maha Besar Tuhan yang telah memikirkan ini untuk manusia. Ini adalah kenikmatan maha dahsyat. Selain itu, ada beberapa hal yang saya sukai saat lebaran. Di hari pertama lebaran saya selalu menemukan tangisan yang jelas didasari rasa kemanusiaan. Rasa sayang, rasa mengasihi, rasa ingin membalas budi, rasa salut atas perjuangan hidup yang selama ini dilakukan, rasa tak rela jika dia pergi. Ya Tuhan…sungguh luar biasa.

Tetapi ada juga yang tidak saya suka, setidaknya untuk saat ini. Saat bertemu keluarga, kerabat, teman, hampir pasti saya terlibat pertanyaan tentang pekerjaan. Heh, jawaban apa yang harus saya utarakan? Penjelasannya sangat rumit, bahwa saya mengerjakan ini dan itu benar-benar membutuhkan penjelasan dalam waktu cukup panjang. Tidak ada waktu bernegosiasi, kecuali dengan diri bahwa ini pilihan jawaban yang paling tepat. Tidak boleh ada dua atau lebih, karena dua atau lebih sulit dimengerti oleh banyak orang. Ada semacam tuntutan “kemapanan” yang harus ditampilkan. Setidaknya itu yang saya mengerti dari jawaban yang dimau banyak orang di kampung halaman.

Pekerjaan Rasulullah apa sih? He he….

(AR, Bwi, 04 Okt. ’08. 14.24)

Ja’i dan Jay

Tulisan ini adalah tentang seseorang “yang tak dianggap” oleh sebagian besar orang. Saya menyebutnya “yang tak dianggap” karena gangguan mental yang dialaminya. Genealogi Foucault tentang madness and civilization terjadi padanya dan hampir semua orang yang mengalami hal sama. Tetapi dia sering membuat orang lain tertawa. Seseorang itu bernama Ja’i.


Saat mudik lebaran ini, dua kali saya melihatnya. Seperti biasanya, di jalanan dengan baju seadanya dan kresek atau kantong beras di tangannya. Melihatnya yang kedua kali, memori langsung melompat pada tingkahnya saat saya SMP. Selang sedikit setelah lompatan itu, otak tiba-tiba ingin merekamnya. Melalui tulisan. Saya pikir, ini bagus. Ja’i, seseorang “yang tak dianggap”, tetapi sering membuat orang tertawa. Tertawa karena tingkah Ja’i, saya pikir kemudian adalah sebuah jalan kenikmatan yang diberikan Tuhan. Kemudian, “saya harus berterima kasih pada Ja’i, atau jika tidak langsung, setidaknya mensyukuri tawa karena tingkahnya itu”. Itu yang menuntun untuk menuliskan ini, sebagai sebuah rekaman saja, catatan kenangan, rasa terima kasih, atau rasa syukur atas tawa jika tidak berlebihan. Kemungkinan besar Ja’i tidak akan pernah tahu tulisan ini, but it’s ok, itu tidak jadi masalah.

Saya tahu Ja’i sejak SMP. Dia sering “mangkal” di SMP dan sekitarnya. Meski mengalami gangguan mental, secara fisik masih lumayan terawat. Pakaiannya masih enak dipandang. Tidak ada bagian vital tubuh yang terumbar. Dia masih bisa bekerja. Kresek atau kantong beras di tangan yang dibawa setiap hari itu adalah untuk tempat hasil pungutannya. Biasanya gelas atau botol air mineral yang dipungutnya di jalanan. Entah untuk siapa dan kepada siapa Ja’i bekerja, saya dan teman-teman tidak tahu detailnya. Dulu Ja’i hanya di daerah SMP dan sekitarnya, tapi sekarang dia berjalan sampai daerah kampung saya. Jaraknya kira-kira 7 km dari SMP. Bagaimana ceritanya, saya tak tahu.
Pada umumnya teman-teman se-SMP dan juga sekolah lain memanfaatkan celoteh Ja’i yang konyol sebagai bahan tertawaan. Terutama teman-teman cowok, mereka sering menanyainya dengan pertanyaan-pertanyaan asal. Lalu kami semua tertawa mendengar jawabannya. Gaya bicaranya sangat konyol dan blak-blakan, dan selalu disertai tawa ceria yang menunjukkan rasa tidak bersalah atau rasa apapun. Dia senang nggoda cewek-cewek, termasuk saya. Tak jarang dengan centil dia mengarahkan tangannya pada kami yang cewek-cewek, kemudian kami berlari karena takut dan geli. Ha ha ha.

Yang paling teringat dari kekonyolan Ja’i adalah, saat ditanya, “Namamu siapa?” dia selalu menjawab, “Jay”. Dia menjawabnya dengan ekspresi PD yang besar. Wa ha ha ha. Lalu kami semua tertawa mendengar dan melihatnya. Pertanyaan itu kami ulang berkali-kali, dan selalu meledakkan tawa yang sama. Ja’i….Ja’i, dia pernah menghibur kami dengan yang dianggap semua orang sebagai kekurangan.

“Hai….Ja’i, lebaran kemarin aku melihatmu di jalanan. Dengan penampilan yang sama seperti saat aku SMP. Kau tidak berpikir lebaran kan? Sekarang kau tampak lebih tua. Hai….Ja’i, ijinkan aku mengenangmu dalam coretan singkat ini. Kau pernah membuatku dan kami tertawa. Terima kasih ya. Maha Besar Tuhan yang membedakan manusia hanya dari ketaqwaannya. Kau telah membahagiakanku dan kami dengan “kekuranganmu”, maka kau sama berhaknya dengan manusia lain atas kebahagiaan yang disediakan Tuhan nanti, dalam kesempurnaanmu nanti. Ya Tuhan, mungkin nanti jika kau dulu yang meninggalkan dunia ini, kuingatkan diriku sendiri semoga ingat untuk mendoakanmu”

(AR, Bwi, 05 Okt. 23.38)