6.01.2008

Pelayanan Kesehatan Indonesia

Any Rufaidah

Men Sana In Corpore Sano. Peribahasa tersebut benar adanya, karena kemampuan berkreativitas dan berinovasi banyak tergantung pada kesehatan ragawi. Dalam konteks kenegaraan, logika ini diakui kebenarannya. Oleh sebab itu, di dalam kampanye-kampanye kesehatan disebutkan kata-kata bijak seperti “Bangsa yang Cerdas adalah Bangsa yang Sehat”.

Kondisi sehat diperlukan oleh semua bangsa, tidak terkecuali Indonesia. Indonesia mengharapkan bangsa yang sehat agar kekayaan yang ada dapat dikelola dengan baik, dimanfaatkan sebaik mungkin, dan dinikmati oleh anak cucu bangsa. Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah, ”Sudahkah Indonesia menjadi bangsa yang sehat?”
Jawaban atas pertanyaan ini bisa ditilik dari kondisi riil yang ada di lapangan. Yang pertama bisa dilihat dari kesehatan balita dan anak-anak. National Socio-Economic Survey (Susenas) mencatat, pada tahun 1989 lebih dari empat juta anak-anak di bawah usia dua tahun menderita gizi buruk. Di tahun 1998, lembaga yang sama mencatat sekitar 7,6 juta anak balita mengalami kekurangan gizi akibat kekurangan kalori protein. Angka yang lebih memprihatinkan ditunjukkan oleh United Nations Children’s Fund (UNICEF). Mereka mencatat sekitar 40% balita Indonesia menderita gizi buruk (Sinar Harapan on-line, 25/1/02).
Keadaan ini ternyata tidak kunjung teratasi. Tahun 2005, tercatat sedikitnya 22.027 atau sekitar 12,6% balita di Kabupaten Cianjur menderita kurang gizi, sekitar 2.411 atau 1,4% di antaranya sudah digolongkan menderita gizi buruk (tempointeraktif, 14/6/05). Tahun 2006, di Solo ditemukan 1.640 balita dikategorikan kekurangan gizi, dan 290 di antaranya digolongkan menderita gizi buruk (tempointeraktif, 29/8/06).
Status gizi berkonsekuensi langsung pada kecerdasan. Lebih-lebih, kondisi ini terjadi pada usia pembentukan otak. Menurut ahli gizi, 80% proses pembentukan otak berlangsung pada usia 0-2 tahun (Sinar Harapan on-line, 25/1/02). Hal ini telah dibuktikan oleh penelitian Dirjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Depkes. Pada tahun 2001, sekitar 130-140 juta rakyat Indonesia mengalami penurunan kecerdasan akibat kekurangan zat yodium. Angka ini menyebabkan Indonesia menempati peringkat ke 174 dari 190 negara (gizi.net, 27/11/01).
Kedua, bisa dilihat dari angka kematian ibu dan anak. Angka kematian ibu melahirkan di Indonesia pada faktanya masih sangat memprihatinkan, yaitu tertinggi di Asean. Data terakhir dari BPS adalah sebesar 262 per 100 ribu kelahiran hidup pada tahun 2005. Sedangkan Laporan Pembangunan Manusia tahun 2000 me¬nye¬butkan angka kematian ibu di Ma¬lay¬sia jauh di bawah Indonesia, yaitu 41 per 100 ribu kelahiran hidup, Singapura 6 per 100 ribu kelahiran hidup, Thai¬land 44 per 100 ribu kelahiran hidup, dan Filiphina 170 per 100 ribu kelahiran hidup. Pada¬hal, tahun 2000 itu angka kematian ibu ma¬¬sih berkisar di angka 307 per 100 ribu kelahiran hidup. Bahkan Indonesia kalah dibandingkan Vietnam, Negara yang be¬lum lama merdeka, yang memiliki angka ke¬matian ibu 160 per 100 ribu kelahiran hidup.
Ketiga, dari kondisi kesehatan secara umum. Hal ini bisa dilihat dari jumlah penyakit-penyakit yang umumnya menyerang masyarakat, misalnya diare, demam berdarah, flu burung, serangan jantung, hipertensi, kanker hingga HIV/AIDS. Jumlah penderita penyakit-penyakit tersebut sampai saat ini masih menjadi persoalan pelik. Perkembangannya sangat cepat dan mudah berepidemi.
Banyak faktor yang menyebabkan mengapa kondisi kesehatan bangsa Indonesia masih sangat terpuruk. Minimnya pengetahuan masyarakat, ekonomi, budaya, adalah beberapa faktor penyebab rendahnya kualitas kesehatan masyarakat. Dan satu yang paling mendasar adalah minimnya pelayanan kesehatan, terutama di desa-desa terpencil. Banyak desa-desa terpencil yang sampai saat ini belum memiliki akses kesehatan yang memadai. Data empiris setidaknya memberi gambaran bagaimana masyarakat desa dapat mengakses kesehatan yang memadai. Untuk berobat, mereka harus menempuh jarak yang tidak pendek. Akibatnya, mereka banyak yang tidak tertolong.
Demikian pula dengan perolehan protein, yodium, vaksin, dan pengetahuan kesehatan. Masyarakat terpencil tidak memiliki akses untuk mendapatkan hal-hal tersebut. Jika demikian, bagaimana masyarakat akan sehat.

No comments: