6.17.2008

Hidup Tanpa Kelamin?

Oleh Any Rufaidah

DUA bulan lalu, saat menghadiri seminar peringatan hari Kartini, sempat terbersit sebuah ide. Ide itu berawal dari keraguan atas pernyataan salah seorang narasumber seminar. Narasumber yang dimaksud adalah Merlyn Sofjan, ketua Ikatan Waria Malang (Iwama), ratu waria plus duta HIV/AIDS internasional. Merlyn, ia sosok yang sangat mengagumkan. Cantik dan ramah. Hari itu adalah kali ketiga saya mendapat cipika-cipiki darinya. Entahlah, saya mesti biasa-biasa saja seperti halnya mendapat cipika-cipiki dari teman atau ragu karena kelaminnya?

Pernyataan Merlyn yang saya maksud kurang lebih adalah, “Prinsip saya, kita hidup bukan dilihat dari jenis kelamin, tapi dari kapasitas kita.”
Pernyataan itu muncul sebagai respon dari salah satu pertanyaan yang saya ajukan dalam seminar tersebut. Karena pertanyaan sendiri, jadi saya memperhatikan dengan seksama. Tampaknya Merlyn sedikit salah menangkap pertanyaan, sehingga jawabannya ditanggapi dengan sedikit “sensitif” menurut saya. Tetapi justru di situlah ide muncul dalam pikiran.

Kembali ke pernyataan Merlyn di atas, “Prinsip saya, kita hidup bukan dilihat dari jenis kelamin, tapi dari kapabilitas kita.” Pertanyaan yang muncul, “Benarkah?” “Masyarakat (sosial) tidak melihat individu dari jenis kelaminnya?”

Dalam pandangan saya, prinsip tersebut tidak demikian adanya karena realitas sosial hampir tidak bisa melepaskan penilaian terhadap siapa pun tanpa melihat jenis kelamin. Banyak sekali contoh yang bisa ditampilkan di sini. Misalnya dalam profesi. Pramugari, pilot, pengaspal jalan, pelinting rokok, sekretaris, pekerja bengkel, pemasang tower, dan lain sebagainya selalu mencantumkan jenis kelamin sebagai salah satu aspek yang dinilai.
Mengapa Pramugari harus perempuan? Mengapa pengaspal jalan laki-laki?, dan lain sebagainya.

Tidak terkecuali bagi Merlyn sendiri. Meskipun disebut “tanpa kelamin”, apakah berarti benar-benar tanpa kelamin? Ketakterlepasan manusia dari jenis kelamin itulah yang menurut saya kemudian memunculkan sebutan kelamin ketiga. Artinya waria tetap dilekati dengan kelamin, yaitu kelamin yang dibentuk oleh lingkungan sosial. Dalam profesi-profesi pun, sangat dimungkinkan ia ditunjuk untuk menyandang misi tertentu karena statusnya yang bisa menjadi ikon. Atau tepatnya karena kewariannya, bukan semata-mata karena kapasitas.

Jadi, dalam pandangan saya, dalam realitas sosial kita tidak pernah benar-benar bisa hidup tanpa kelamin. Dengan kata lain, hanya dalam penilain Tuhan kita bisa lepas dari kelamin.

Semoga ide ini bisa memperkaya ruang dialektika kita. Terima kasih kepada Mbak Merlyn atas inspirasi. (Malang, 17 Juni 2008. 15.00)





No comments: