8.24.2009

CSR


Meja rapat Averroes Community tak sedang kosong Rabu sore (19/8). Tepatnya sepuluh menit sebelum jam lima sore, tujuh orang pemuda sedang duduk melingkari meja biru muda itu. Mereka tak sedang nggosip atau guyon, sebuah kerja pengetahuan yang sedang mereka selenggarakan: diskusi rutin Reboan. Tema diskusi kala itu adalah “CSR dalam Kungkungan Soft Capitalism” –sebuah tema yang telah dijadikan bahan tertawaan oleh para pencetusnya sendiri. Seperti rapat dan forum-forum lain, cemilan dan teh hangat mendampingi. Hingga 20 menit berikutnya hadir beberapa orang lagi.

Salah seorang yang mendapat tugas memberi pengantar diskusi sedang mempresentasikan hasil bacaannya atas CSR. Sesekali pemberi pengantar diskusi itu menyimak tulisan tentang CSR dalam notebook-nya. Sementara yang lain tampak pula sedang baca-baca notebook masing-masing. Yang lain lagi menyimak, dengan berbagai mimik.

Tak kurang dari 20 menit pemberi pengantar diskusi presentasi, mulai latar belakang munculnya gagasan CSR hingga perkembangan definisi dan pelaksanaannya. Tak semua penjelasan bisa saya tangkap dengan sempurna, bahkan mungkin hanya secuil. Di antaranya: bahwa Corporate Social Responsibility (CSR) lahir sebagai respon dari kerusakan lingkungan (ekologi) yang disebabkan oleh limbah industri-industri pertambangan. Para aktivis lingkungan yang memotori adanya CSR, antara tahun 1950-an. Pada mulanya, CSR berlaku secara sempit, berlaku untuk industri pertambangan saja. Masyarakat yang menerima dana CSR pun terbatas, hanya masyarakat di sekitar industri, sebab merekalah yang merasakan kerugian langsung.
Dalam perkembangannya, CSR berlaku untuk industri-industri lain, termasuk Unilever, Nestle, dan perusahaan multinasional lainnya. Wilayah penyaluran CSR pun semakin luas, tak sebatas untuk masyarakat sekitar industri. Pemberian beasiswa termasuk bentuk dari CSR.

Diskusi semakin menarik setelah moderator mempersilakan peserta diskusi menanggapi presentasi pengantar diskusi. Sangat bervariasi tanggapan-tanggapan yang muncul, jauh lebih kaya dari apa yang saya ketahui dan asumsikan. Diskusi pun berwarna, diselingi tawa. Misalnya, saat salah seorang peserta mengatakan tak tahu substansi apa yang tengah disampaikannya, peserta yang lain sontak tertawa. Atau saat seorang yang lain –yang menggantikan peran moderator sebelumnya- yang mengambil kesimpulan berbeda dengan yang telah diketengahkan peserta diskusi. Atau saat suara dengkur salah seorang peserta yang tertidur dalam posisi duduk mulai mengusik diskusi. Beragam dan menyenangkan.

Ulasan-ulasan beberapa peserta diskusi memang bervariasi, tetapi tampaknya semua ulasan itu akhirnya bertanya: “Apakah CSR representasi niat baik? Atau sebaliknya, ia tak lebih hanya bentuk kapitalisme yang dikerjakan dengan lebih lembut (soft)”. Diskusi bertambah seru. Adalah seseorang yang baru saja menyelesaikan studi magister di Texas, Amerika, yang kemudian “ditodong” untuk membagikan pengetahuannya tentang CSR.

Satu pernyataan penting darinya: “CSR justru menutupi peran negara”. Pernyataan itu lalu dipedaskan oleh seorang yang lain: “CSR untuk menghumaniskan kapitalisme”. Dua pernyataan yang memberi nilai berbeda pada CSR. Kemudian yang lain mengeluarkan pendapat-pendapat senada. Sebuah pertanyaan tentang hubungan CSR dan soft capitalism digelindingkan lagi. Meski tak persis kalimatnya, dikatakan: “Jangan-jangan CSR adalah kapitalisme yang dimainkan dengan strategi yang lebih soft, halus”. Di tengah-tengah itu, ada suara yang diperdengarkan pada saya: tentang mengapa Erani Yustika tak sepakat pada CSR. Akhir 2008 lalu, sebuah Musyawarah Kerja (Musker) mengundang Erani Yustika untuk mengupas neoliberalisme. Rupanya pemilik suara itu masih ingat asalan ketidaksepakatan Erani Yustika terhadap CSR. Kurang lebih: CSR berhubungan erat dengan neoliberalisme, karena CSR mengurangi peran negara dalam pembangunan dan upaya-upaya penyejahteraan sosial.

Corporate Social Responsibility (CSR) yang dalam pengertian katanya baik ternyata patut dipertanyakan pula kebaikannya. Bahkan ia perlu dicurigai atau ditolak. Mungkin itu adalah impact dari banyaknya program atau kebijakan yang tampak baik tetapi sebenarnya busuk. Atau gambaran betapa kita sudah tak mungkin lepas dari kuasa modal. Darah rakyat terhisap lagi dan lagi. Rakyat memang menuai manfaat dari dana CSR, tetapi perusahaan menuai untung jauh lebih besar. Menyitir contoh yang diberikan salah seorang peserta diskusi: Banyak perusahaan memberi CSR dalam bentuk beasiswa kepada mahasiswa-mahasiswa berkualitas. Secara tertulis memang tak ada ikatan, tetapi perusahaan kerap mengadakan pertemuan dengan penerima beasiswa. Ikatan emosional dibangun melalui pertemuan-pertemuan itu. Penerima beasiswa kemudian direkrut. Dengan cara itu perusahaan mendapat orang-orang berkualitas untuk perusahaan mereka. Akhirnya, memang banyak jalan menuju Roma.

Any Rufaidah
Malang, 24 Agustus 2009

No comments: