Any Rufaedah,
Pengurus Korp Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (KOPRI) PB PMII, Pegiat studi psikologi sosial, Penulis
Buku "Freud tentang Manusia: Sebuah pengantar"(2012).
Daftar
Caleg Sementara (DCS) telah diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada
tanggal 22 lalu. Dari wacana-wacana yang berkembang, ada indikasi bahwa partai-partai
politik belum siap memenuhi kuota 30% caleg perempuan. Meskipun para aktivis
perempuan sudah mewacanakan adanya sanksi bagi partai yang tidak memenuhi kuota
30%, pada kenyataannya parta-partai politik masih mengeluh, bahkan memohon agar
tidak ada sanksi. Artinya, ada gerak yang tidak seimbang antara tuntutan
pemenuhan kuota dengan kesiapan partai. Tuntunan akan kuota berjalan cepat
sementara partai masih jalan di tempat.
Alasan
yang paling sering dikemukakan oleh parpol adalah sulitnya mencari perempuan
yang mau terjun ke dunia politik. Menurut mereka politik itu keras dan kotor.
Meskipun ada banyak perempuan yang sebetulnya memiliki kemampuan di politik,
tetapi mereka enggan karena alasan itu. Tersangkutnya politisi-politisi
perempuan dalam kasus korupsi menambah keengganan perempuan untuk terjun di
politik. Dalam hemat saya, fenomena ini menjadi kritik bagi wajah politik Indonesia
saat ini. Bagaimana bisa politik yang dalam filsafatnya adalah cara untuk
memperjuangkan kepentingan rakyat, hari ini justru menakutkan. Mengutip Albert
Camus, politik adalah ikhtiar bersama-bersama melawan yang bathil dan bertempur
di sisi korban tanpa berharap akan kemenangan absolut (Takwin, 2011).
Ketakutan
yang diakui perempuan sekaligus menjadi penanda bahwa politik Indonesia semakin
jauh dari landasan hakikinya. Jika tetap pada landasan hakikinya, perempuan
justru akan berbondong-bondong masuk politik. Sejarah telah banyak membuktikan
bahwa perempuan menjadi aktor-aktor aktif dalam berbagai gerakan kemanusiaan. Sebut
saja Anis Hidayah yang memotori perlindungan terhadap buruh migran dan Wardah
Hafidz yang mendampingi kasus-kasus penggusuran pada masyarakat miskin kota.
Keduanya telah meraih penghargaan internasional atas kegigihannya. Dalam politik
pun, perempuan berperan aktif. Pada Februari 1998, dimana negara dalam keadaan
Siaga Satu, para aktivis dan akademisi perempuan bergabung dalam Suara Ibu
Peduli (SIP) untuk mendesak pemulihan
ekonomi, sosial, dan politik yang genting saat itu. Gadis Arivia sebagai
penggerak, dengan jelas menyebut demonstrasi SIP di bundarah HI tahun ‘98
adalah gerakan politik. It is about
politics, tulisnya.
Secara
natural, perempuan adalah pihak yang dekat dengan kehidupan, sebab mereka dikaruniai
fungsi reproduksi mulai dari hamil sampai menyusui. Karunia itu mengembangkan
naluri menghidupi dan menolak perampasan hidup. Seorang ibu tahu bagaimana
ekspresi lapar dan haus dari seorang anak. Sementara politik Indonesia saat ini
cocok disebut politik rimba. Siapa kuat itulah yang menang. Perempuan yang
terbiasa memberi air susu pada anak dan dididik dalam kultur yang
mengharuskannya ramah, tentu tidak sepakat pada politik rimba. Bagi mereka
lebih baik bekerja seadanya daripada berurusan dengan dunia yang bertolak
belakang dengan nalurinya. Penolakan perempuan pada politik semestinya menjadi
cambuk bagi parpol, bahwa perilaku para politisi yang didominasi laki-laki saat
ini keras dan kotor. Yang berani mendekat hanyalah orang-orang yang keras dan
kotor pula.
Mahalnya Harga
Politik
Faktor
yang juga menjadi alasan enggannya perempuan terjun ke politik adalah mahalnya biaya
untuk nyaleg. Untuk menjadi caleg DPR
RI dan DPRD Provinsi membutuhkan uang miliaran rupiah. Untuk tingkat DPRD
Kabupaten/Kota membutuhkan ratusan juta rupiah. Kenyataan itu tentu saja
membuat caleg berpikir ulang. Perilaku masyarakat yang pragmatis akibat
pembiasaan money politic sangat
mempengaruhi harga politik saat ini. Adanya ‘mafia-mafia’ caleg juga menambah
biaya politik. ‘Mafia-mafia’ itu sengaja hanya mengambil uang caleg sementara
kerjanya untuk membantu kampanye tidak seberapa. Jika caleg tidak pandai-pandai
merekrut tim kampanye, mereka bisa tercebur dalam permainan ‘mafia-mafia’ itu.
Pencalegan
memang membutuhkan biaya, tetapi sebatas untuk biaya cetak alat kampanye, biaya
transportasi, dan konsumsi ringan saat pertemuan dengan calon pemilih. Tidak
ada dana berlebihan jika yang dikeluarkan hanya untuk kebutuhan-kebutuhan
tersebut. Yang membuat dana bengkak adalah cash
money yang dibagi-bagikan kepada calon pemilih. Fenomena itu biasa disebut
serangan fajar. Masyarakat yang berpendidikan rendah banyak yang menerimanya.
Saya pernah membuktikannya sendiri di suatu daerah. Masyarakat yang lulusan SMP
banyak yang menerima uang suap dari tim sukses caleg. Semuanya mereka terima.
Yang dipilih adalah caleg yang memberi uang paling banyak.
Praktik
itu telah menularkan virus yang sangat merusak politik pada masa-masa
berikutnya. Partai politik punya tanggung jawab besar dalam upaya menyudahi money politic. Banyak cara yang bisa
dilakukan. Di antaranya adalah memberi sanksi kepada caleg yang terbukti
memberi uang kepada calon pemilih. Meskipun ada pengawas pemilu, pada
kenyataannya penindakan hukum tidak berjalan karena terkendala alat bukti dan
ketakutan masyarakat untuk menjadi saksi. Partai politik lah yang mampu
mengambil peran. Jika money politic
berhasil dihentikan, harga politik tentu saja tidak akan mahal. Dengan demikian
perempuan tidak perlu takut karena biaya nyaleg
yang mahal.
Modal dan Tantangan
Politik Perempuan
Sebenarnya
perempuan adalah kelompok yang dapat memperbaiki wajah politik Indonesia.
Naluri menghidupi, sikap dan perilaku yang ramah adalah modal yang sangat
berarti. Selama ini politisi perempuan yang ada di parlemen memang belum mampu
menjadi warna baru dalam politik. Mereka masih sebatas ngikut arus yang selama ini diciptakan mayoritas politisi
laki-laki. Akibatnya, politisi perempuan seolah hanya jadi pelengkap. Yang
lebih parah lagi, mereka terseret dalam kasus-kasus korupsi yang didalangi
politisi laki-laki. Semestinya perempuan menggunakan naluri-naluri
menghidupinya dalam berpolitik, tidak justru terjebak pada politik keras dan
kotor.
Kedua,
perempuan memiliki kesolidan yang tinggi. Kita bisa lihat buktinya dalam
kehidupan sehari-hari. Jika diajak melakukan aktivitas, ibu-ibu lebih kompak
dibandingkan bapak-bapak. Karakter itu terbangun dari kultur yang mendidik perempuan
agar lebih berkomunitas. Perempuan Indonesia biasa melakukan berbagai aktivitas
secara berkelompok. Dalam tradisi buwuh
(membantu orang hajatan) misalnya, perempuan mengerjakan keperluan-keperluan
hajatan dengan beramai-ramai. Waktu yang mereka habiskan pun lama. Di situlah
terjadi interaksi yang mendalam di antara ibu-ibu. Berbeda dengan laki-laki
yang ditekankan untuk mandiri. Laki-laki diberi tanggung jawab sebagai pencari
nafkah utama. Itu sebabnya laki-laki lebih sibuk dengan urusan kemandiriannya. Mereka
bertindak lebih cepat dan hanya sesuai kebutuhannya, sementara perempuan punya
ruang yang lebih banyak untuk interaksi dengan sesama.
Soliditas
yang kuat ini menjadi modal yang sangat penting dalam politik. Dengan soliditas
kuat, perempuan bisa menggalang kekuatan sesama politisi perempuan. Kekuatan
itu secara bersama-sama kemudian digunakan untuk mempengaruhi sistem dan
perilaku politik. Tidak mudah memang, tetapi jika dimulai dan disuarakan
terus-menerus maka perubahan wajah politik akan terjadi. Bukankah berani
memulai dan konsistensi adalah syarat untuk sebuah perubahan? Selamat berjuang,
politisi perempuan.
No comments:
Post a Comment