“Demi Tuhan, Hatiku.” Itu adalah
sebuah judul dalam buku biografi Kahlil Gibran. Kata itu menggambarkan mungkin
kebimbangan, mungkin kegelisahan, mungkin dilema, mungkin keputusasaan, dan
sejenisnya yang sedang dialami Gibran. Mengapa saya mengutip kata itu? Ya,
karena malam ini saya mengalami sebuah kekecewaan yang kemudian memuncak
menjadi tangisan. Perasaan itu bermula dari pengalaman penipuan yang saya alami
malam ini. Singkatnya saja, saya membeli tiket penerbangan online via FB. Pemilik
FB itu sering mengirim promo-promo tiket. Sebelumnya tidak pernah saya gubris. Malam
ini saya jadi berpikir pesan ke dia karena asisten orang yang akan membiayai
perjalanan saya sudah pada tahap tidak bisa diandalkan. Waktu yang dibutuhkan
untuk memesan tiket sudah sangat tidak rasional. Jadwal penerbangannya sampai
saya yang carikan sehingga dia tinggal issued, tapi itu juga tidak dilakukan
sampai dua hari. Saya telepon ke 4 agen perjalanan, kebetulan terkendala semua.
Ada yang tidak jual tiket dengan maskapai itu, ada yang pas kebetulan tidak
angkat telepon, dan ada yang belum melayani penerbangan internasional.
Maka saya chattinglah dengan agen
tiket palsu. Saya kasih jadwal kemudian dia kasih harga. Saya langsung minta
bookingkan karena jadwalnya memang sudah saya cek. Jadi sebetulnya hanya tidak
ingin ribet untuk bayar dengan bank-bank atau kartu kredit yang saya tidak
punya. Ini sebuah kesalahan, terlalu berpikir pragmatis, ingin serba instan. Setelah
saya tahu harga totalnya cukup untuk keuangan saya, maka saya minta
di-issued-kan. Syarat agen palsu adalah transfer terlebih dahulu. Sebelum saya
transfer saya menelepon untuk memastikan apakah agen itu benar ada apa tidak.
Dia cukup meyakinkan, maka percayalah saya. Dalam alam bawah sadar saya, saya
punya pengalaman pesan tiket via online pada agen langganan, dan hasilnya
baik-baik saja, sehingga saya tidak curiga berlebihan. Saya meminjam uang teman
saya, karena uang untuk tiket itu masih di sponsor dan uang dari sponsor
lainnya masih ada di rekening teman. Tidak memungkinkan untuk mengurusi semua
itu dalam waktu cepat malam ini, sehingga saya telepon teman saya yang sangat
dermawan (sebetulnya karena dia sangat mencintai saya dengan rasa yang tulus
saya kira). Proses transfer terjadi kemudian saya minta di-issued-kan. Ternyata
email tiket tidak kunjung datang dan agen palsu memblok FB saya. Nomor HP-nya
pun tidak aktif. Saya ‘sedikit’ lemas, karena impian tiket clear malam ini
tidak terwujud.
Itu cerita permulaan. Tapiii…yang
membuat saya kecewa malam ini sehingga menuliskan “Demi Tuhan, Hatiku” bukanlah
itu. Pada akhirnya saya berpikir untuk melapor polisi meski teman yang
meminjamkan uangnya pada saya tidak marah atau menyalahkan saya. Dia hanya
bilang, “Tenangkan pikiran sampean. Nanti kan ada rejeki lagi.” Saya BBM teman
saya yang polisi untuk bertanya apakah ada teman polisi di Jakarta Pusat. Dia
bilang tidak punya, tapi dia menyarankan saya untuk melapor ke Polsek terdekat.
Jam menunjukkan pukul 23 lewat. Saya memutuskan menuju Polsek Paseban yang
jaraknya bisa ditempuh dengan jalan kaki. Yang mendorong saya bukan sepenuhnya
“agar uang saya kembali”, tetapi “saya orang yang cukup mengenyam pendidikan
dan saya sadar hukum, maka saya tidak boleh membiarkan kasus penipuan lewat
begitu saja.” Kedua, saya berpikir kalau kasus penipuan seperti itu bisa
diselesaikan, maka kasus-kasus serupa tidak akan terjadi atau merebak, sehingga
tidak akan ada korban lagi.
Di Polsek Paseban, setelah saya
bercerita pada seorang polisi agak tua yang sedang piket, ternyata saya
diarahkan ke Polres karena Polsek-nya itu hanya pospol. Baiklah, saya ikuti
sarannya. Saya ambil motor di kos dan melaju ke Polres yang jaraknya juga tidak
jauh dari tempat saya tinggal. Lapor ke pos penjagaan saya berhadapan dengan satu
polisi yang agak kasar dan satu polisi ramah. Baiklah. Saya diarahkan menuju
bagian pelaporan. Polisinya agak muda. Mungkin usia antara 32-35. Oh ya, di
samping itu saya juga telah berkomunikasi dengan teman yang sudah transfer
untuk tiket saya agar menelepon bank dan memblokir rekening agen palsu. Di
ruang pelaporan saya bercerita lagi…bla bla bla. Pak polisi yang saya hadapi
sedang memutar lagu-lagu dari komputernya sambil mendengarkan saya bercerita.
Karena menurut saya itu adalah tindakan tidak menghargai, saya pura-pura saja
memegang telinga sambil mengernyitkan dahi agar dia mengecilkan musiknya. Pura-pura
itu berhasil. Akhirnya pak polisi mengecilkan musik. Saya melanjutkan cerita.
Daaaann…kesimpulannya adalah, lapor perkara mestinya di Surabaya karena
transfernya dari sana. Saya terus bertanya, “Mengapa harus begitu? Rasanya
tidak rasional karena saya yang menjadi korban di sini. Teman saya memang yang
mengalami kerugian saat ini, tapi saya juga akan membayarnya. Tapi intinya
tetap begitu, lapornya harus di Surabaya. Karena sudah malas berdebat lagi,
saya segera sudahi saja lah. Pada intinya, dia tidak mau melayani laporan.
Itu pengalaman yang membuat saya
sangat galau. Seharusnya Indonesia punya sistem yang cepat, tanggap, dan
terpadu. Seharusnya, kalau ada laporan dari korban, polisi bisa segera
menindaknya. Jika itu bukan di TKP, dia akan bisa kontak ke Polres TKP.
Seharusnya polisi punya greget untuk membasmi kejahatan. Mana ada alasan tidak
bisa, karena faktanya semua data WNI bisa diakses oleh Polri dan TNI. Agak
mustahil kalau Polri menjawab tidak bisa menangkap pelaku penipuan. Apalagi,
pada kasus saya ada nomor rekening pelaku. Dan tentu mereka punya hak untuk
ikut campur ke bank dalam upaya penangkapan. Semua sangat mungkin dilakukan,
bahkan pada waktu yang sangat cepat. Tetapi, pelapor seolah disuruh tidak
melapor. Itu akan menambah pekerjaan saja. Ada kesan pak polisi-pak polisi itu
memang tidak mau kerja.
Demi Tuhan, Hatiku, jadi benar
teriakan-teriakan teman-teman aktivis bahwa “polisi kerap melakukan pembiaran.”
Saya masih menyangsikan kata teman-teman aktivis bahwa ada pembiaran, tapi
faktanya sangat terlihat. Demi Tuhan, Hatiku, jadi wajar jika orang-orang yang
kehilangan benda-bendanya, motor, laptop, kamera, mobil, HP dan lain sebagainya
memilih tidak melapor. Melapor kadang tidak dipercayai, kadang dianggap
mengada-ada, dan sejenisnya. Demi Tuhan, Hatiku, Indonesia tak seharusnya
begini. Indonesia seharusnya bisa sangat baik. Demi Tuhan, Hatiku, malam ini
tiba-tiba saya menangisi keadaan negeriku yang seolah tak memegang nilai dan
komitmen. Demi Tuhan, Hatiku, malam ini tiba-tiba saya punya keinginan untuk
pindah kewarganegaraan. Indonesia yang saya akui sangat saya sayangi tiba-tiba
ingin saya tinggalkan. Demi Tuhan, Hatiku, semakin saya tidak ingin bekerja
pada pemerintahan. Demi Tuhan, Hatiku, tiba-tiba saya ingin menjadi aktivis dan
akademisi saja, dunia yang saya rasa paling memegang nilai-nilai universal. Seandainya
saya sudah punya pilihan pekerjaan lain, maka saya akan mundur dari pekerjaan
saya sekarang ini. Demi Tuhan, Hatiku, ternyata mencoba percaya dan menganggap
semua orang baik adalah kesalahan. Demi Tuhan, Hatiku, saya lelah pada orang
yang mengaku sibuk sehingga tidak sempat memesankan tiket sampai berhari-hari.
Demi Tuhan, Hatiku, Indonesia seharusnya tidak seperti sekarang ini.
Jakarta, 15 Maret 2013. 02.32.
No comments:
Post a Comment