3.15.2013

Demi Tuhan, Hatiku

“Demi Tuhan, Hatiku.” Itu adalah sebuah judul dalam buku biografi Kahlil Gibran. Kata itu menggambarkan mungkin kebimbangan, mungkin kegelisahan, mungkin dilema, mungkin keputusasaan, dan sejenisnya yang sedang dialami Gibran. Mengapa saya mengutip kata itu? Ya, karena malam ini saya mengalami sebuah kekecewaan yang kemudian memuncak menjadi tangisan. Perasaan itu bermula dari pengalaman penipuan yang saya alami malam ini. Singkatnya saja, saya membeli tiket penerbangan online via FB. Pemilik FB itu sering mengirim promo-promo tiket. Sebelumnya tidak pernah saya gubris. Malam ini saya jadi berpikir pesan ke dia karena asisten orang yang akan membiayai perjalanan saya sudah pada tahap tidak bisa diandalkan. Waktu yang dibutuhkan untuk memesan tiket sudah sangat tidak rasional. Jadwal penerbangannya sampai saya yang carikan sehingga dia tinggal issued, tapi itu juga tidak dilakukan sampai dua hari. Saya telepon ke 4 agen perjalanan, kebetulan terkendala semua. Ada yang tidak jual tiket dengan maskapai itu, ada yang pas kebetulan tidak angkat telepon, dan ada yang belum melayani penerbangan internasional. 

Maka saya chattinglah dengan agen tiket palsu. Saya kasih jadwal kemudian dia kasih harga. Saya langsung minta bookingkan karena jadwalnya memang sudah saya cek. Jadi sebetulnya hanya tidak ingin ribet untuk bayar dengan bank-bank atau kartu kredit yang saya tidak punya. Ini sebuah kesalahan, terlalu berpikir pragmatis, ingin serba instan. Setelah saya tahu harga totalnya cukup untuk keuangan saya, maka saya minta di-issued-kan. Syarat agen palsu adalah transfer terlebih dahulu. Sebelum saya transfer saya menelepon untuk memastikan apakah agen itu benar ada apa tidak. Dia cukup meyakinkan, maka percayalah saya. Dalam alam bawah sadar saya, saya punya pengalaman pesan tiket via online pada agen langganan, dan hasilnya baik-baik saja, sehingga saya tidak curiga berlebihan. Saya meminjam uang teman saya, karena uang untuk tiket itu masih di sponsor dan uang dari sponsor lainnya masih ada di rekening teman. Tidak memungkinkan untuk mengurusi semua itu dalam waktu cepat malam ini, sehingga saya telepon teman saya yang sangat dermawan (sebetulnya karena dia sangat mencintai saya dengan rasa yang tulus saya kira). Proses transfer terjadi kemudian saya minta di-issued-kan. Ternyata email tiket tidak kunjung datang dan agen palsu memblok FB saya. Nomor HP-nya pun tidak aktif. Saya ‘sedikit’ lemas, karena impian tiket clear malam ini tidak terwujud. 

Itu cerita permulaan. Tapiii…yang membuat saya kecewa malam ini sehingga menuliskan “Demi Tuhan, Hatiku” bukanlah itu. Pada akhirnya saya berpikir untuk melapor polisi meski teman yang meminjamkan uangnya pada saya tidak marah atau menyalahkan saya. Dia hanya bilang, “Tenangkan pikiran sampean. Nanti kan ada rejeki lagi.” Saya BBM teman saya yang polisi untuk bertanya apakah ada teman polisi di Jakarta Pusat. Dia bilang tidak punya, tapi dia menyarankan saya untuk melapor ke Polsek terdekat. Jam menunjukkan pukul 23 lewat. Saya memutuskan menuju Polsek Paseban yang jaraknya bisa ditempuh dengan jalan kaki. Yang mendorong saya bukan sepenuhnya “agar uang saya kembali”, tetapi “saya orang yang cukup mengenyam pendidikan dan saya sadar hukum, maka saya tidak boleh membiarkan kasus penipuan lewat begitu saja.” Kedua, saya berpikir kalau kasus penipuan seperti itu bisa diselesaikan, maka kasus-kasus serupa tidak akan terjadi atau merebak, sehingga tidak akan ada korban lagi.

Di Polsek Paseban, setelah saya bercerita pada seorang polisi agak tua yang sedang piket, ternyata saya diarahkan ke Polres karena Polsek-nya itu hanya pospol. Baiklah, saya ikuti sarannya. Saya ambil motor di kos dan melaju ke Polres yang jaraknya juga tidak jauh dari tempat saya tinggal. Lapor ke pos penjagaan saya berhadapan dengan satu polisi yang agak kasar dan satu polisi ramah. Baiklah. Saya diarahkan menuju bagian pelaporan. Polisinya agak muda. Mungkin usia antara 32-35. Oh ya, di samping itu saya juga telah berkomunikasi dengan teman yang sudah transfer untuk tiket saya agar menelepon bank dan memblokir rekening agen palsu. Di ruang pelaporan saya bercerita lagi…bla bla bla. Pak polisi yang saya hadapi sedang memutar lagu-lagu dari komputernya sambil mendengarkan saya bercerita. Karena menurut saya itu adalah tindakan tidak menghargai, saya pura-pura saja memegang telinga sambil mengernyitkan dahi agar dia mengecilkan musiknya. Pura-pura itu berhasil. Akhirnya pak polisi mengecilkan musik. Saya melanjutkan cerita. Daaaann…kesimpulannya adalah, lapor perkara mestinya di Surabaya karena transfernya dari sana. Saya terus bertanya, “Mengapa harus begitu? Rasanya tidak rasional karena saya yang menjadi korban di sini. Teman saya memang yang mengalami kerugian saat ini, tapi saya juga akan membayarnya. Tapi intinya tetap begitu, lapornya harus di Surabaya. Karena sudah malas berdebat lagi, saya segera sudahi saja lah. Pada intinya, dia tidak mau melayani laporan.

Itu pengalaman yang membuat saya sangat galau. Seharusnya Indonesia punya sistem yang cepat, tanggap, dan terpadu. Seharusnya, kalau ada laporan dari korban, polisi bisa segera menindaknya. Jika itu bukan di TKP, dia akan bisa kontak ke Polres TKP. Seharusnya polisi punya greget untuk membasmi kejahatan. Mana ada alasan tidak bisa, karena faktanya semua data WNI bisa diakses oleh Polri dan TNI. Agak mustahil kalau Polri menjawab tidak bisa menangkap pelaku penipuan. Apalagi, pada kasus saya ada nomor rekening pelaku. Dan tentu mereka punya hak untuk ikut campur ke bank dalam upaya penangkapan. Semua sangat mungkin dilakukan, bahkan pada waktu yang sangat cepat. Tetapi, pelapor seolah disuruh tidak melapor. Itu akan menambah pekerjaan saja. Ada kesan pak polisi-pak polisi itu memang tidak mau kerja. 

Demi Tuhan, Hatiku, jadi benar teriakan-teriakan teman-teman aktivis bahwa “polisi kerap melakukan pembiaran.” Saya masih menyangsikan kata teman-teman aktivis bahwa ada pembiaran, tapi faktanya sangat terlihat. Demi Tuhan, Hatiku, jadi wajar jika orang-orang yang kehilangan benda-bendanya, motor, laptop, kamera, mobil, HP dan lain sebagainya memilih tidak melapor. Melapor kadang tidak dipercayai, kadang dianggap mengada-ada, dan sejenisnya. Demi Tuhan, Hatiku, Indonesia tak seharusnya begini. Indonesia seharusnya bisa sangat baik. Demi Tuhan, Hatiku, malam ini tiba-tiba saya menangisi keadaan negeriku yang seolah tak memegang nilai dan komitmen. Demi Tuhan, Hatiku, malam ini tiba-tiba saya punya keinginan untuk pindah kewarganegaraan. Indonesia yang saya akui sangat saya sayangi tiba-tiba ingin saya tinggalkan. Demi Tuhan, Hatiku, semakin saya tidak ingin bekerja pada pemerintahan. Demi Tuhan, Hatiku, tiba-tiba saya ingin menjadi aktivis dan akademisi saja, dunia yang saya rasa paling memegang nilai-nilai universal. Seandainya saya sudah punya pilihan pekerjaan lain, maka saya akan mundur dari pekerjaan saya sekarang ini. Demi Tuhan, Hatiku, ternyata mencoba percaya dan menganggap semua orang baik adalah kesalahan. Demi Tuhan, Hatiku, saya lelah pada orang yang mengaku sibuk sehingga tidak sempat memesankan tiket sampai berhari-hari. Demi Tuhan, Hatiku, Indonesia seharusnya tidak seperti sekarang ini. 

Jakarta, 15 Maret 2013. 02.32.

No comments: