Oleh Any Rufaedah
Atas permintaan pengurus PMII STAINU Jakarta untuk mengisi materi Gender pada Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA), mau tidak mau saya harus membaca kembali sejarah feminisme. Saya rasa ini kesempatan yang sangat baik untuk merefresh kembali bacaan. Saya kumpulkan buku-buku terkait feminisme yang saya miliki, baik yang baru saya beli beberapa waktu lalu, misalnya Agama, Seks, dan Kekuasaan karya Julia Suryakusuma maupun yang 3, 4 atau 5 tahun lalu, seperti Ensiklopedia Feminisme, Mitos Kecantikan, dan Feminisme untuk Pemula. Membuat materi dengan serius baik dari segi konten dan tampilan adalah satu-satunya yang terlintas. Mahasiswa baru bukan anak kecil lugu yang bisa ‘ditipu’ dengan retorika atau materi ‘tak berdasar’. Mereka punya basis pengetahuan yang diperoleh dari pesantren, sekolah, maupun kelompok diskusi. Boleh jadi saya mentah atas kritik mereka. Meskipun pada faktanya mereka masih ‘gagap’ untuk menemukan padanan istilah dan kata kunci dalam pemaknaan gender, anggap saja itu sebuah keberuntungan, bukan alasan untuk tidak serius membuat materi pada kesempatan-kesempatan yang mungkin datang selanjutnya.
Atas permintaan pengurus PMII STAINU Jakarta untuk mengisi materi Gender pada Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA), mau tidak mau saya harus membaca kembali sejarah feminisme. Saya rasa ini kesempatan yang sangat baik untuk merefresh kembali bacaan. Saya kumpulkan buku-buku terkait feminisme yang saya miliki, baik yang baru saya beli beberapa waktu lalu, misalnya Agama, Seks, dan Kekuasaan karya Julia Suryakusuma maupun yang 3, 4 atau 5 tahun lalu, seperti Ensiklopedia Feminisme, Mitos Kecantikan, dan Feminisme untuk Pemula. Membuat materi dengan serius baik dari segi konten dan tampilan adalah satu-satunya yang terlintas. Mahasiswa baru bukan anak kecil lugu yang bisa ‘ditipu’ dengan retorika atau materi ‘tak berdasar’. Mereka punya basis pengetahuan yang diperoleh dari pesantren, sekolah, maupun kelompok diskusi. Boleh jadi saya mentah atas kritik mereka. Meskipun pada faktanya mereka masih ‘gagap’ untuk menemukan padanan istilah dan kata kunci dalam pemaknaan gender, anggap saja itu sebuah keberuntungan, bukan alasan untuk tidak serius membuat materi pada kesempatan-kesempatan yang mungkin datang selanjutnya.
Tidak ada banyak waktu untuk
membaca, merangkum, dan menuangkannya pada powerpoint dengan tampilan yang
cantik. Saya harus memilih beberapa buku yang paling representatif untuk
menggambarkan sejarah feminisme. Agama,
Seks, dan Kekuasaan sangat menarik, namun terlalu berat untuk dibaca dalam
waktu singkat. Akhirnya saya pilih Feminisme
untuk Pemula (Marisa Rueda, Marta Rodriguez, & Susan Alice Watkins), Ensiklopedia Feminisme (Maggie Humm), Feminisme: Sebuah Kata Hati (Gadis
Arivia), dan Pergulatan Feminisme dan HAM
(R. Valentina Sagala & Ellin Rozana). Buku utamanya adalah Feminisme untuk Pemula. Buku ini saya
rasa ditulis dengan sistematika yang mudah untuk memahami sejarah. Meskipun
tertulis ‘untuk pemula’, namun di sisi lain buku ini tertulis ‘seri gerakan
sosial’. Tulisan itu menggambarkan sebuah ghiroh
gerakan advance. Sementara ketiga
buku lainnya saya gunakan sebagai pelengkap terkait dengan definisi
istilah-istilah dan prinsip-prinsip ideologi feminisme. Atas latar belakang
itu, maka boleh saja catatan ini disebut sebagai review buku Feminisme untuk Pemula mengenai akar
ideologi dan gerakan feminisme.
***
Feminisme adalah salah satu gerakan
yang muncul sebagai bentuk perlawanan atas kondisi Eropa yang feodal hingga
abad 18. Disebut salah satu, sebab selain feminisme juga muncul perlawanan atas
ketidakadilan sosial, misalnya disuarakan oleh Montesquieu, Locke, Jefferson, dan Voltaire. Pada masa feodal, para
raja, bangsawan, pemilik tanah, dan pendeta berkuasa atas para tukang,
pedagang, dan petani kecil. Masyarakat pada masa itu (sebelum terjadi
industrialisasi) bekerja di ladang-ladang atau bengkel-bengkel kerja. Laki-laki
dan perempuan bekerja bersama meski tugas dan upah yang diterima berbeda.
Sejak berkembangnya
industri-industri manufaktur, muncullah pemisahan pekerjaan. Laki-laki bekerja
di kota-kota besar dan perempuan tetap di rumah. Masa ini menciptakan ide
“laki-laki sebagai pencari nafkah” dan “perempuan sebagai ibu rumah tangga”
untuk pertama kalinya. Perempuan secara ekonomi bergantung pada laki-laki. Industrialisasi
memunculkan kelas-kelas baru, yaitu buruh yang tidak memiliki tanah dan kelas
menengah perkotaan. Dominasi kelas tetap berlangsung. Ketamakan-ketamakan (insecurities) terjadi, dan pada akhirnya
melahirkan hasrat akan kebebasan. Di sinilah muncul suara-suara Montesquieu,
Locke, Jefferson, Voltaire, dan feminisme.
Pertengahan abad 18, lahir
pemikir progresif yang tercerahkan. Mereka menentang tirani para raja, bangsawan,
dan pendeta yang didasarkan pada hak-hak turunan. Bersamaan dengan itu,
feminisme menentang tirani laki-laki dalam rumah tangga. Salah satu nama
populer pada masa itu adalah Jean-Jacques
Rousseau (1712-1778). Rousseau menyerang ketidakadilan di Eropa. Namun ia sedikit
bias saat menyinggung ketidakadilan terhadap perempuan. Dalam novelnya yang
terkenal, Emile (1762), Rousseau menyuarakan
ide pendidikan untuk perempuan yang masih sangat bias gender. Ia menulis:
Laki-laki dan
perempuan diciptakan demi satu sama lain, namun kesalingtergantungan di antara
mereka tidaklah sama. Kita lebih bertahan hidup tanpa mereka, ketimbang mereka
tanpa kita. Mereka bergantung pada kita. Mereka bergantung pada apa yang kita
rasakan, pada apa yang kita tentukan sebagai kebaikan mereka, pada nilai-nilai
yang kita tetapkan sebagai daya tarik mereka dan sebagai kebaikan mereka.
Karena itulah, seluruh pendidikan kaum perempuan haruslah direncanakan dalam
hubungannya dengan laki-laki. Untuk menyenangkan laki-laki, untuk menjadi
berguna buat laki-laki, untuk merebut cinta dan rasa hormat dari laki-laki,
untuk mengasuh laki-laki seperti layaknya anak-anak, merawat mereka seperti
orang dewasa, untuk memberinya nasehat dan hiburan, menjadikan kehidupan
laki-laki penuh rasa dan menyenangkan.
Pada tulisan itu, ide pendidikan untuk
perempuan hanya ditujukan untuk kesenangan laki-laki, bukan untuk kemerdekaan
perempuan.
Di daratan sebrang, Inggris,
muncul nama Mary Wollstonecraff
(1759-1797). Dalam buku Feminisme untuk
Pemula, nama Mary praktis disebut pertama kali pada masa bangkitnya
ideologi feminisme. Mary tumbuh dalam keluarga patriarkhi. Ayahnya biasa
melakukan kekerasan dan ibunya tidak melakukan perlawanan apa-apa. Mary punya
keinginan kuat untuk mandiri dan berpendidikan. Ia membuka sekolah untuk
gadis-gadis di Newington Green, daerah pinggiran di London Utara.
Ide ‘pemberontakan’ Mary didukung
pula oleh lingkungannya. Tetangganya adalah kaum Dissenter (gereja-gereja yang
dianggap sempatan), yaitu Gereja Presbyterian yang radikal, kaum Gereja Baptis,
dan kaum Gereja Independen yang dilarang menduduki seluruh jabatan pemerintahan
sipil serta tidak boleh masuk universitas. Mereka mendirikan Dissenting Academy. Di situlah mereka
mendiskusikan ide-ide Jaman Pencerahan secara terbuka. Lingkungan ini
berpengaruh pada pribadi Mary.
Mary kemudian diperkenalkan
dengan Joseph Johnson, seorang penerbit
di London yang mengangkat isu-isu kaum tertindas seperti budak, tunawisma, Yahudi,
penyapu cerobong asap, orang-orang yang kelaparan, dan lain-lain. Tahun 1788
Mary menjadi anggota inti. Di sana ia belajar dan berdiskusi dengan
penulis-penulis radikal lainnya. Selain Joseph Johnson, ada nama nama William Blake, Mary Hayes, William Goodwin,
William Wordsworth, dan Tom Paine.
Paine menerbitkan The Right of Man
(1792-1992), buku yang membuat Paine terancam hukuman mati karena tuduhan
melawan Mahkota Inggris. Dan Mary sendiri menerbitkan A Vindication of the Rights of Woman (1792). Dalam buku ini, ide-ide pencerahan
untuk pertama kalinya dikaitkan dengan situasi kaum perempuan. Buku ini pun
disebut sebagai batu alas feminisme modern, yang menggema selama berabad-abad.
1789, Revolusi Perancis meletus. Pada
peristiwa bersejarah itu perempuan menemukan momen gerakannya. 6.000 buruh
perempuan, tukang cuci pakaian, penjahit, pelayan, penjaga toko, istri-istri
buruh menuju pusat kora Paris untuk menyuarakan kelangkaan makanan dan menuntut
roti murah. Kaum revolusioner sendiri
terbagi menjadi kelompok Jacobin
radikal yang menghendaki dihapuskannya monarki dan kelompok Girondin moderat yang menghendaki
monarki konstitusional. Perempuan Jacobin menyuarakan pengendalian harga dan
distribusi bahan pangan yang adil, menuntut hak politik, dan pengakuan atas
jasa-jasa perempuan secara publik. Sementara perempuan Girondin menyuarakan hak
atas kepemilikan harta bagi perempuan menikah maupun yang hidup sendiri. Tuntutan
Girondin dilatarbelakangi oleh tidak adanya hak kepemilikan atas harta bagi
perempuan. Suami menentukan pemakaian harta istri. Perhiasan istri boleh
digunakan secara bebas oleh suami.
Ide feminisme menyebar ke benua Amerika.
Jika misi perjuangan perempuan Eropa adalah menentang tirani rumah tangga
laki-laki, misi perempuan Amerika adalah menentang perbudakan rasial. Atas fakta
sejarah ini kita boleh menyebut bahwa perjuangan perempuan sangat kontekstual,
tidak membabi buta ataupun mengada-ada. Pada akhir abad 18, perempuan kulit
hitam Amerika menghadapi masalah sangat serius. Mereka menjadi budak dan kerap diperkosa.
Nama Sarah Mapp Douglass, Harriet
Purvish, Sarah dan Margaretta
Forten, Lucretia Mott, muncul untuk menyuarakan anti penindasan dengan
mendirikan Masyarakat Anti-Perbudakan Perempuan (1883). Kelompok penentang anti
perbudakan (Abolisionis) ini menyuarakan tuntutan pada pemerintah. Langkah itu memang
sebuah keharusan, sebab perbudakan adalah masalah sistemik.
Pada 1840, digelar Konvensi
Internasional Anti-Perbudakan di Inggris. Konvensi ini pun bermasalah. Keterlibatan
perempuan delegasi AS sempat tidak dikehendaki oleh forum yang didominasi
laki-laki. Baru pada Konvensi Hak-Hak Perempuan Pertama (19 Juli 1848),
keterlibatan perempuan tidak lagi dipermasalahkan. Tepatnya di gereja Wesleyan
di Seneca Fall, New York, seratus laki-laki dan perempuan berkumpul untuk
membicarakan hak-hak perempuan. Tuntutan yang paling menonjol adalah hak pilih
yang diusulkan oleh Elizabeth Cady
Stanton (1815-1902), teman dekat Lucretia. Usulan itu disahkan dengan
kemenangan tipis. Elizabeth menjadi terkenal. Rumahnya sering didatangi para
pendukung hak-hak perempuan. Di antaranya adalah Susan B. Anthony (1820-1906) yang kemudian menjadi sahabat
Elizabeth. Elizabeth dan Susan berbagi peran dalam menyelesaikan urusan rumah
tangga dan aktivitas-aktivitas gerakan. Mereka berdua berbicara pada
pertemuan-pertemuan di AS untuk menyuarakan perbaikan upah guru perempuan, hak
milik atas harta, pendidikan, karir, dan hak pilih. Selama lima bulan Elizabeth
menggalang tanda tangan untuk menentang undang-undang pembayaran upah perempuan
kepada suami. Elizabeth dan Susan menjadi inspirasi bagi gerakan penegakan hak
perempuan di seluruh AS.
Gerakan Elizabeth dan Susan
mendapat energi baru dengan hadirnya Lucky
Stone (1818-1883). Perempuan muda itu mendapat pendidikan di Oberlin
College, Ohio, satu-satunya perguruan tinggi untuk berbagai ras. Lucy mempunyai
bakat sebagai orator. Ia berpidato di berbagai rapat terbuka di seluruh
Massachusetts. Namun gerakan ketiga feminis itu pecah ketika Lucy dan mitranya,
Antoinette Brown (1825-1921) mendukung
Amandemen ke-15 yang memberikan hak pilih kepada laki-laki kulit hitam.
Elizabeth dan Susan tidak mendukung amandemen itu karena tidak memberikan hak
pilih kepada perempuan. Baru pada tahun 1888 mereka bertemu kembali untuk
membentuk Asosiasi Nasional untuk Hak Pilih Perempuan. Anak Lucy, Alice Stone Blackwell adalah penggerak
asosiasi itu.
Capaian gerakan perempuan di
Inggris berbeda lagi. Di satu sisi, perempuan mendapat hak untuk bekerja di
luar rumah, namun jam kerja mereka lebih panjang dan mendapat upah lebih
rendah. Mereka menjadi pemintal, pelayan rumah tangga, buruh tani, pembuat
topi, tukang seterika, pengajar privat, dan buruh pabrik –sebelumnya mereka
bekerja bersama ayah atau suami di ladang pertanian, bengkel kerja, atau
industri rumah tangga. Lahan kerja itu tidak sebanding dengan imbalan yang
diperoleh. Pilihannya adalah menikah. Dengan berada di rumah, perempuan lebih
terjamin secara ekonomi dan sosial. Meskipun menjadi ‘tahanan rumah’ karena
tidak memiliki hak kepemilikan harta, kelas menengah Inggris menghendaki itu. Korbannya
adalah perempuan kelas menengah. Perempuan kelas bawah tentu lebih memilih
bekerja karena kebutuhan ekonomi. Secara sosial perempuan kelas menengah lebih
baik, namun tidak mempunyai hak milik atas harta. Kebutuhan ekonomi mereka
sangat tergantung pada landasan ideologis dan superioritas laki-laki. Perlu tiga
generasi feminis untuk mendapatkan hak pendidikan, hak upah, dan hak pilih bagi
mereka.
1856, lahir feminis generasi
pertama yang dikenal Langham Place. Gerakannya
diawali dengan mengorganisir komite untuk mengumpulkan petisi bagi UU Hak Milik
Perempuan yang Menikah. Pelopornya adalah Barbara
Leigh Smith (1827-1891) dan Bessie
Rayner Parkers (1829-1925). Pada tahun 1858, mereka meluncurkan Englishwoman’s Journal yang membahas
hak-hak sipil perempuan. Setahun setelahnya mendirikan Society for Promoting the Employment of Women yang kemudian
mendirikan percetakan Victoria Press dan mendirikan Institute untuk Perempuan
di 19 Langham Place. Generasi Langham Place ini menggalang kekuatan untuk
menyuarakan hak pilih perempuan kepada parlemen. John Stuart Mill (1806-1873) adalah anggota parlemen yang memediasi
gerakan itu kepada parlemen. Mill dalam buku The Subjection of Women (1869) menyampaikan argumen yang mendukung
kesetaraan laki-laki dan perempuan secara fundamental.
Bersambung….(feminisme
Inggris generasi kedua)
3 comments:
tulisannya keren mba,saya bangga kalau ada senior2 PMII semuanya kaya mba, bang dwi, mas aries, mas yasik,dll. meski say sudah gak terlalu aktif lagi tapi jiwa say masi aktif di pmii.
mba saya mau tanya, ada gak sih batasan/ porsi untuk wanita dalam hal feminisme?? terkadang ada juga wanita yang berlebihan menyikapi hal ini mba.. maksih mba
salam PMII
thx a alot, Im. Km jg punya potensi yg bisa dikembangkan secara maksimal.
feminisme mewujud dalam berbagai bentuk. ya spt Islam misalnya, macem2. Mgkn yg km maksud adalah feminisme radikal. feminis ini lebih pada 'pembebasan tubuh perempuan' dan menguasai sarana reproduksinya. Km bisa bayangkan, ketika perempuan menjalankan fungsi reproduksinya, mulai hamil, kemudian menyusui sampai minimal 2 tahun. praktis perempuan terganggu selama 2,5 tahun lbh untuk memerankan fungsi itu. itu kalo anaknya 1, kalo 2 atau 3 tinggal mengalikan sj. sementara laki-laki kan bs trs berkonsentrasi pada karir dan aktivitas yg mereka kehendaki. Ini relatif susah diterima, tp kl km membaca sendiri, misalnya pengalaman Elizabeth dan Susan pada tulisan sy, km bs menemukan soul-nya.
Menurut sy, Im, batasan feminisme itu ya agama, agama yg ditafsirkan dg mempertimbangkan kesetaraan makhluk hidup. feminisme radikal susah diterima oleh Islam. pembebasan tubuh dan penguasaan sarana reproduksi kadang mewujud dalam hubungan tanpa ikatan atau hubungan sesama jenis (lesbi). Begitulah pemikiran. Namun pembaca bs menyaringnya.
Itu ya. Terimakasih.
Salam PMII
Makaasih mba jawabannya...
saya setujuh dengan jawaban mba. perempuan tidak hanya menjadi objek laki2 tetapi juga sebagai pendamping.
tetapikalau sudah mempunyai anak ini menjadi persoalan tersendiri menurut saya mba, memang sekarang ini ada namanya baby sitter. sekarang kiebanyakkan ibu2 kebih percaya anaknya diasuh kepada baby sitter. menurut saya ini tidak baik untuk pendidikan anak dan hubungan emosional anak kepada ibunya.
Terimakasih mba
salam PMII
Post a Comment