Pernah (dan sering) saya (dan mungkin kita) mendengar penjelasan mengapa saudara-saudara kita yang bekerja sebagai buruh migran tetap saja melarat, tak ada materi yang menunjukkan kemakmuran meski dikabarkan uang yang didapatkan sangat menggiurkan jumlahnya. Katanya karena perilaku saudara-saudara selama di luar negeri kerap menyalahi norma-norma sosial dan agama. Maka katanya wajar jika hasil kerja tidak ada dan materi yang sudah terkumpul cepat terjual. Akhirnya tetap saja melarat.
Hmm. Begitukah penjelasannya? Saya meragukan nalar tersebut. Soal tetap melarat adalah soal tidak adanya keberlanjutan penghasilan, bukan terkait langsung dengan bagaimana cara kita mendapatkan rejeki atau tingkah laku selama mengais rejeki itu. Jika kawan-kawan ex buruh migrant tetap berada pada keadaan yang dulu bukan karena perkara mereka berperilaku buruk semata-mata, melainkan karena tidak adanya sustainability penghasilan. Banyak orang-orang penting di negeri ini tetap kaya meski tingkah lakunya demikian terlihat adanya. Bagaimana menjelaskannya? Tak lain itu karena mereka terus berpenghasilan/mendapat aliran uang. Bagaimana nalarnya uang kawan-kawan ex buruh migran, misalnya, habis tanpa diketahui dan kemudian itu dihubungkan dengan ketidakbarokahan akibat perilaku? Ini persoalan yang sangat rasional: uang habis karena dibelanjakan. Semua pasti pas hitungannya.
Any R.
Depok, 8 November 2010. 00.51.
Salam untuk Nuril
No comments:
Post a Comment