4.19.2008

Represi Kata

Any Rufaidah

Di awal tulisan ini, saya mengatakan bahwa tulisan ini adalah tulisan asumsi. Ide yang tertuang di dalamya masih sangat perlu diragukan atau bahkan diabaikan begitu saja. Dikatakan demikian, karena penelusuran bukti-bukti sejarah maupun literer yang mendukung ide ini tidak mungkin dilakukan dengan cepat. Sementara keinginan untuk segera menuangkan ide ke dalam tulisan cukup besar. Maka hadirlah tulisan asumtif ini.

***
Kata jangkrik, jamput, jancik, adalah kata-kata “kotor” yang sering terdengar dalam pergaulan sehari-hari. Meskipun tidak pernah mengucapkannya sendiri, kata ini sering berkeliweran di telinga, terlebih dalam masyarakat Jawa Timur. Dari mana asal kata ini? Itulah yang menyebabkan saya mengatakan bahwa tulisan ini hanya asumsi. Saya berasumsi bahwa ketiga kata di atas berasal dari kata aslinya, yaitu jancuk. Asumsi ini dibangun berdasarkan kesamaan bunyi, bahkan awalan yang sama. Jika asumsi ini benar, pertanyaan dasarnya adalah, mengapa orang memelesetkan kata jancuk menjadi jangkrik, jamput, atau jancik?

Di sini kita akan mencoba menjawabnya dengan analisis teori psikoanalisis yang dibawa Sigmund Freud. Dalam pandangan Freud, manusia memiliki tiga struktur; id, ego, dan superego. Id adalah keinginan-keinginan tak sadar manusia. Id berisi keinginan yang secara moral-sosial bertentangan dan hal-hal yang menyakitkan. Superego adalah keinginan-keinginan yang bersifat moralitas, seperti norma, ajaran agama, dan nilai-nilai yang dianut masyarakat. Sedangkan ego adalah “negosiator” antara id dan superego. Jika kondisi riil tidak memungkinkan penyaluran id, maka ego mencari jalan keluar kapan dan bagaimana id boleh keluar. Misalnya; dalam bentuk mimpi, kesalahan-kesalahan tak disengaja, atau kelainan psikotik.

Plesetan jancuk menjadi jangkrik, jamput, atau jancik adalah hal yang bisa dijelaskan dengan teori di atas. Masyarakat kita tidak menghendaki kata-kata kotor disampaikan di muka umum. Sementara banyak orang ingin mengucapkannya, sebagai ekspresi kemarahan atau sekedar sebagai gurauan. Di sini terjadi konflik antara id dan superego. Keinginan id sebenarnya menghendaki untuk mengucapkan kata jancuk, namun maknanya yang kotor dan kasar tidak memungkinkan pengucapan tersebut. Ego kemudian mencari jalan keluar bagaimana Id tetap bisa keluar dan superego tidak terganggu secara penuh. Maka, terbentuklah kata jangkrik, jamput, atau jancik. Dengan mengucapkan kata-kata ini, kita tidak terlalu merasa bersalah kepada nilai-nilai masyarakat, sementara keinginan kita untuk meluapkannya tetap tersalurkan.

***
Sekali lagi, tulisan ini adalah tulisan asumsi. Jika ingin mengetahui “kecocokannya”, untuk sementara kita bisa bertanya pada diri kita.

Salam Freudian

No comments: